Cinta kepada Allah SWT ditanamkan melalui pembiasaan ibadah harian seperti shalat berjamaah, dzikir pagi, membaca Al-Qur'an, serta refleksi nilai-nilai ketauhidan dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik tidak hanya dikenalkan pada teori tentang keimanan, tetapi diajak untuk merasakan kehadiran Allah dalam hidup mereka melalui kegiatan-kegiatan spiritual yang sederhana namun bermakna. Menurut Palmer (1998), pendidikan yang bermakna tumbuh dari keaslian hubungan antara guru, peserta didik, dan nilai-nilai yang diyakini, di mana cinta menjadi penghubung utama yang memberi makna.
Kecintaan kepada Rasulullah SAW dibangun melalui peneladanan akhlak beliau. Para siswa diajak mengenal kehidupan Nabi melalui kisah-kisah inspiratif yang disampaikan dalam bentuk literasi sirah nabawiyah, lomba dakwah cilik, atau pentas seni Islami yang menggambarkan perjuangan Rasul dalam menyebarkan Islam dengan kasih sayang. Hadis Nabi yang berbunyi, "Tidak sempurna iman seseorang sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri" (HR. Bukhari dan Muslim), menjadi pengingat bahwa cinta kepada Rasul juga berarti meneladani sikap kasih sayang beliau kepada sesama manusia.
Nilai cinta kepada sesama ditanamkan melalui kegiatan sosial yang bersifat langsung, seperti berbagi dengan teman, bakti sosial, gerakan sedekah Jumat, hingga aksi peduli terhadap warga sekitar yang membutuhkan. Pendidikan semacam ini mencerminkan pandangan Freire (1970) bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang membuat peserta didik sadar akan realitas sosialnya dan terdorong untuk menjadi agen perubahan. Dalam praktiknya, madrasah bisa mengarahkan siswa untuk aktif dalam kegiatan kemanusiaan sejak dini, agar kepekaan sosial menjadi bagian dari karakter mereka.
Sementara itu, cinta kepada lingkungan diterapkan melalui kegiatan konkret seperti penanaman pohon, gerakan bersih lingkungan madrasah, dan pengelolaan sampah berbasis daur ulang. Kegiatan ini bukan hanya soal menjaga kebersihan, melainkan merupakan bentuk pengamalan nilai ekoteologi, yakni pemahaman bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah. Dalam Al-Qur'an, manusia disebut sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30), yang berarti memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk merawat alam. Kegiatan seperti penanaman pohon oleh siswa baru, dengan mencantumkan nama mereka di tiap pohon yang ditanam, menjadi simbol kuat komitmen terhadap pelestarian ciptaan Allah SWT. Ini menumbuhkan kedekatan spiritual dan ekologis secara bersamaan.
Seluruh aktivitas KBC dalam MATSAMA dapat dikemas secara kreatif, seperti melalui program "Mading Cinta" yang menampilkan karya tulis siswa bertema cinta kepada Allah dan Rasul, refleksi sosial, hingga puisi lingkungan. Selain itu, program "Safari Dakwah Junior" dapat menjadi wadah bagi siswa untuk melatih kemampuan dakwah sekaligus membangun kepedulian sosial dengan mengunjungi panti asuhan atau warga yang membutuhkan uluran tangan. Keseluruhan kegiatan ini membentuk madrasah bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi sebagai rumah nilai yang menumbuhkan cinta dalam seluruh dimensi kehidupan.
Melalui Kurikulum Berbasis Cinta dalam kegiatan MATSAMA, madrasah tidak hanya memperkenalkan aturan dan tata tertib, tetapi juga membentuk hati dan jiwa siswa agar tumbuh menjadi generasi yang bertakwa, peduli, dan bertanggung jawab. Pendidikan yang berangkat dari cinta memiliki daya ubah yang kuat karena mengakar pada relasi yang tulus antara peserta didik, guru, nilai, dan lingkungan sekitar. Dengan demikian, KBC menjadi jalan bagi madrasah dalam membangun peradaban yang berlandaskan kasih sayang, keberlanjutan, dan keadilan sosial.
Implementasi nyata dari Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang menanamkan nilai cinta kepada lingkungan dapat diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan sederhana namun berdampak besar, seperti gerakan penanaman pohon dan aksi kebersihan lingkungan madrasah. Penanaman pohon, misalnya, tidak hanya menjadi simbol kecintaan terhadap alam, tetapi juga menjadi pengalaman personal dan spiritual bagi peserta didik. Setiap siswa baru diberi satu bibit pohon untuk ditanam di lingkungan madrasah, lengkap dengan papan nama yang bertuliskan nama mereka dan jenis pohon yang ditanam. Kegiatan ini tidak sekadar seremonial, melainkan berkelanjutan---para siswa bertanggung jawab untuk merawat pohon tersebut selama mereka menempuh pendidikan di madrasah. Ini menumbuhkan rasa memiliki, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap ciptaan Allah SWT.
Selain itu, aksi kebersihan lingkungan rutin seperti Jumat Bersih juga menjadi bagian integral dari program KBC. Siswa diajak membersihkan ruang kelas, halaman madrasah, taman, dan area wudhu, serta belajar memilah sampah organik dan anorganik. Dalam kegiatan ini, guru tidak hanya bertindak sebagai pengawas, tetapi turut serta sebagai teladan, menumbuhkan semangat gotong royong dan kesadaran kolektif. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan langsung dengan ajaran Rasulullah SAW yang sangat mencintai kebersihan dan keteraturan. Aksi nyata ini menjadi bagian dari praktik ekoteologi, di mana nilai spiritual dan pengelolaan lingkungan saling terhubung secara harmoni.
Implikasi dari kegiatan ini tidak hanya berdampak pada siswa, tetapi juga pada seluruh ekosistem pendidikan, termasuk madrasah dan orang tua. Bagi madrasah, KBC mendorong pembentukan budaya sekolah yang berkarakter, hijau, dan peduli. Lingkungan madrasah yang bersih, hijau, dan rapi mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai Islam yang kaffah dan memperkuat citra positif madrasah di mata masyarakat. Madrasah menjadi pusat pendidikan yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk perilaku ekologis dan sosial peserta didiknya secara nyata.
Sementara itu, bagi orang tua, keterlibatan mereka dalam mendukung dan melanjutkan praktik KBC di rumah sangat penting. Orang tua dapat diberi ruang untuk berpartisipasi, misalnya dengan menyumbang tanaman, mengikuti kegiatan gotong royong, atau mempraktikkan gaya hidup ramah lingkungan bersama anak-anak. Ketika orang tua dan madrasah memiliki visi yang selaras dalam pendidikan berbasis cinta, maka proses pembentukan karakter anak akan berlangsung lebih utuh dan berkesinambungan, baik di lingkungan sekolah maupun di rumah. Dengan demikian, Kurikulum Berbasis Cinta dalam MATSAMA bukan hanya membentuk siswa yang religius secara personal, tetapi juga sosial dan ekologis secara kolektif. Penanaman pohon, aksi kebersihan, dan partisipasi orang tua menjadi bukti konkret bahwa cinta kepada Allah, Rasul, sesama, dan alam dapat ditanam dan dipelihara melalui pendidikan yang sederhana namun transformatif.