Standar Ganda dalam Dunia Pendidikan: Ketika Guru Berbeda Nasib Karena Viral
Dunia pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah viralnya dua kasus guru SD dengan nasib yang sangat kontras. Satu dipecat karena mengkritik pemerintah melalui lagu, sementara yang lain tetap lolos seleksi pegawai pemerintah meskipun sempat viral karena konten yang dianggap tidak pantas. Perbedaan perlakuan ini memicu perdebatan tentang keadilan dan standar dalam dunia pendidikan.
Ketika Kritik Berujung Pemecatan
Seorang guru SD yang dikenal karena kreativitasnya dalam mengajar harus menerima kenyataan pahit: diberhentikan setelah membuat lagu berisi kritik terhadap kebijakan pendidikan pemerintah. Lagu ini viral di media sosial dan mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat yang merasakan keresahan yang sama. Namun, alih-alih diapresiasi, ia justru kehilangan pekerjaannya.
Kasus ini mencerminkan betapa sulitnya menyuarakan kritik di negeri ini. Padahal, kebebasan berpendapat seharusnya menjadi bagian dari demokrasi, terlebih jika kritik tersebut bertujuan untuk memperbaiki sistem. Sayangnya, banyak kasus menunjukkan bahwa mereka yang bersuara kritis justru mendapatkan sanksi, bukan solusi.
Ketika Kontroversi Tak Menghambat Karier
Di sisi lain, seorang guru SD lain tetap bisa lolos seleksi sebagai pegawai pemerintah meskipun pernah viral karena konten yang dinilai tidak sesuai dengan norma kepatutan seorang pendidik. Dengan citra yang lebih populer di media sosial dan gaya yang jauh dari kesan guru konvensional, ia tetap melaju dalam kariernya tanpa hambatan berarti.
Banyak pihak mempertanyakan kredibilitas dan kelayakannya sebagai pendidik. Namun, ia tetap diterima dalam sistem tanpa konsekuensi yang berarti. Hal ini menimbulkan perdebatan: apakah kepopuleran dan citra media sosial lebih penting dibandingkan dedikasi dan integritas dalam dunia pendidikan?