Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

AI Tidak (atau Belum) Bisa Mengatasi Kesepian

3 Juli 2025   20:31 Diperbarui: 4 Juli 2025   08:15 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Testimoni salah satu pengguna Replika, sebuah program chatbot AI dalam bentuk pendamping virtual | Tangkapan layar situs web Replika.com

Kita kesepian bukan karena kekurangan manusia di muka bumi; sebenarnya, kita punya terlalu banyak. Kita justru kesepian karena banyaknya manusia di sekitar kita, bahkan dengan bantuan teknologi untuk mencapai lebih banyak manusia, tetap gagal memenuhi kebutuhan sosial dan emosional kita.

Bagaimana bisa?

Sederhana saja: hubungan antar-manusia itu ruwet. Mereka suka menghakimi, mengecewakan, dan terkadang meninggalkan kita sesuka hati. Bahkan jika kita punya seseorang yang peduli dan setia, mereka tidak tersedia setiap saat. Dunia sangatlah sibuk; seperti halnya kita tak selalu ada untuk mereka, begitu pula mereka untuk kita.

Itulah mengapa, ketika perusahaan-perusahaan artificial intelligence (kecerdasan buatan/AI) menjanjikan pelipur lara baru bagi kesepian (salah satu masalah tertua manusia), banyak orang menyambutnya. Entah berupa chatbot atau robot, hubungan dengan AI diproyeksikan jauh lebih pasti daripada interaksi antar-manusia.

Mereka selalu tersedia 24/7, tertarik untuk membicarakan apa pun dengan penuh pengertian, dan menerima kita apa adanya. Di atas segalanya, pendamping AI menawarkan dunia tanpa kehilangan, sesuatu yang mustahil diberikan oleh makhluk hidup. Pasangan manusia kita pasti meninggal suatu hari, begitu pula hewan peliharaan, tetapi "pacar AI" tidak akan pernah mati dan selalu menjadi sosok yang kita dambakan - muda, rupawan, perhatian, dan abadi.

Lantas, benarkah AI dapat mengatasi kesepian? Bisakah AI menjadi solusi efektif untuk mengakhiri apa yang disebut oleh para ahli sebagai "epidemi kesepian"? Bisakah hubungan tanpa drama itu benar-benar mengisi ruang kosong di hati kita, atau malah menciptakan kekosongan baru yang sebelumnya belum pernah ada?

Fenomena "pacar AI"

Pada akhir April, saat bercakap dengan podcaster Dwarkesh Patel, Mark Zuckerberg berkomentar bahwa AI dapat berperan sebagai "teman" untuk memerangi kesepian. Dia mengutip data yang melaporkan bahwa "rata-rata orang Amerika memiliki kurang dari tiga teman".

Alih-alih menyarankan solusi kebijakan tradisional seperti menginvestasikan kembali dana ke pusat komunitas atau memperluas dukungan kesehatan mental, Mark meyakini bahwa obat untuk keterputusan sosial modern terletak pada teman, pendamping, dan terapis AI. "I think people are going to want a system that knows them well and understands them in the way that their feed algorithms do," ujarnya.

Mark benar dalam mendiagnosis masalah. Saat ini, tidak hanya di Amerika Serikat, kesepian telah menjadi masalah serius di banyak negara. Pada pertengahan November 2023, WHO bahkan mendeklarasikan kesepian sebagai "a pressing global health threat". Inggris melantik "menteri kesepian" pertama di dunia pada tahun 2018, diikuti Jepang tiga tahun berikutnya ketika pandemi COVID-19 memperburuk angka bunuh diri dan "hikikomori", sebutan untuk orang-orang yang mengisolasi dirinya sampai berbulan-bulan.

Pendiri Meta itu juga benar bahwa AI tengah merombak ulang hubungan sosial manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun