Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni "Menabung" Kepuasan

11 Agustus 2021   05:30 Diperbarui: 11 Agustus 2021   20:45 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Menabung" kepuasan berarti mengorbankan kebahagiaan sesaat untuk kebahagiaan yang lebih besar | Ilustrasi oleh Pexels via Pixabay

Saya berpendapat bahwa dengan "menuntaskan" kecemasan terhadap masa mendatanglah, kita bisa nyaman dengan apa yang ada saat ini. Psikologis manusia amatlah lemah terhadap ketidakpastian. Jadi ketika ketidakpastian itu tidak bisa terstrukturkan, kita semakin cemas.

Setidak-tidaknya, dengan menunda kepuasan yang kita yakini sebagai cara untuk mencapai tujuan yang lebih besar adalah keterampilan kita untuk memetakan ketidakpastian yang ada di hadapan kita. Saya tahu ini berkontradiksi, tapi sejauh Anda merenungkannya, ini nyata.

Secara sekilas, kepuasan yang tertunda terdengar menyeramkan bahwa kita mengabaikan kesenangan di masa kini untuk menghadapi ketidakpastian yang kita yakini akan lebih baik.

Tapi secara paradoksal, ketika visi kita mampu memetakan masa depan, kita akan menjadi jauh lebih bahagia di masa kini. Untuk alasan yang jelas, kita menjadi tahu tentang apa yang akan kita hadapi dan sekurang-kurangnya ... mengurangi kecemasan.

Menerapkan Seni "Menabung" Kepuasan

Saya sadar bahwa judul artikel saya memberi harapan kepada Anda tentang petunjuk-petunjuk bagaimana caranya menerapkan seni "menabung" kepuasan. Dan saya tidak akan pernah menipu pembaca (setidaknya sejauh saya menyadarinya).

Interupsi autopilot

Apakah Anda mendapati diri Anda kembali jatuh di lubang yang sama? Barangkali Anda terlalu menuruti autopilot pikiran Anda sendiri yang pada dasarnya tidak bisa menilai baik-buruknya sesuatu.

Autopilot yang saya maksud di sini bisa semacam nafsu yang ada dalam diri kita.

Kesadaran saja tidaklah cukup. Ketika pengendara sadar bahwa mobilnya sedang mengarah ke tebing yang curam, dia juga perlu membanting roda kemudinya dan mengarahkan mobil tersebut ke lintasan yang seharusnya.

Autopilot ini muncul ketika suatu hal sudah menjadi kebiasaan. Karena sifatnya yang otomatis, kita nyaris tidak pernah memikirkannya lagi sebagai baik atau buruk pada konteks tertentu.

Ketika Anda melihat diri Anda melakukan sesuatu karena kebiasaan, cobalah untuk berhenti sejenak. Tanyakan pada diri Anda mengapa Anda melakukan itu dan mengapa pula menjadi kebiasaan.

Ingat kembali bahwa manusia cenderung memusatkan dirinya pada kesenangan yang ada pada saat ini. Jika Anda punya komitmen terhadap tujuan yang lebih besar dari kebahagiaan sesaat itu, Anda perlu menginterupsi autopilot Anda.

Perhatikan prioritas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun