Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Masalah dari Berpikir Positif

20 Mei 2021   08:06 Diperbarui: 20 Mei 2021   08:21 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berpikir positif setiap saat bisa dibilang tidak begitu berguna | Ilustrasi oleh Pexels via Pixabay

Salah satu nasihat yang paling banyak kita dapatkan dari siapa pun adalah "selalu berpikir positif". Kita didorong untuk percaya bahwa hasil yang baik sedang menanti, skenario terbaik akan terjadi, dan masalah apa pun bisa teratasi.

Ini membuat banyak orang berpikir bahwa kunci sukses adalah memupuk rasa optimis seiring dengan kegigihan. "Singkirkan segala pikiran negatif, maka hasil yang Anda dapatkan akan luar biasa."

Buku-buku yang menggemakan kekuatan pikiran telah memenuhi rak-rak buku dan menjadi ladang bisnis yang menguntungkan. Inilah mengapa seruan berpikir positif semakin tersebar luas, di samping pengaruh agama.

Secara konseptual, keyakinan akan kekuatan pikiran terkemas dalam sebuah hukum bernama The Law of Attraction (LoA).

LoA merupakan suatu hukum yang meyakini bahwa apa pun yang kita fokuskan dalam pikiran dan perasaan adalah apa yang akan ditarik dan hadir ke dalam kehidupan.

Hukum ini percaya bahwa kita menarik bukan apa yang diinginkan, melainkan menarik atas apa yang diyakini akan terwujud.


Namun sayangnya, LoA ini telah digolongkan sebagai pseudosains (sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah tetapi tidak mengikuti metode ilmiah). Dengan kata lain, LoA tidak terbukti benar secara ilmiah.

Berpikir positif itu menyenangkan, tetapi tidak sepenuhnya baik bagi kita. Seperti kata pepatah, hidup itu menyebalkan. Dan berpura-pura bahwa yang negatif itu tidak ada berarti hidup dalam khayalan.

Beberapa kritikus mengatakan bahwa berpikir positif itu membodohi pikiran kita dalam menyadari realitas dan mengurangi kesiapan kita untuk mengejar tujuan. Meskipun ini koreksi yang ekstrem, kita dapat mengerti maksud mereka dengan jelas.

Jadi, apakah berpikir positif itu sekadar mantra belaka?

Kapan berpikir positif menjadi buruk?

Sama seperti sebilah pisau, berpikir positif pun tidak bisa digunakan secara sembrono. Kenyataannya, berpikir positif setiap saat tidak begitu berguna karena ini bukanlah panduan satu ukuran untuk semua pengalaman hidup.

Percayalah, selama seminggu penuh saya memikirkan Lionel Messi akan meng-email saya dan memberi beasiswa penuh untuk kuliah; tapi tidak pernah terwujud!

Meskipun itu konyol, tapi begitulah kebanyakan orang melakukannya. Karena frase "selalu berpikir positif" terlanjur tersebar luas, kebanyakan dari kita keliru melakukannya. Jadi, saya memiliki beberapa opini terkait kapan berpikir positif dapat menjadi buruk bagi kita.

Membangun harapan terhadap hasil

Harapan menghancurkan kita jika terlampau "sempurna". Apalagi ketika harapan tersebut mewarnai pikiran kita, hasil apa pun yang didapatkan tampaknya sering tidak memuaskan.

Banyak dari kita yang membayangkan hasil positif. Meskipun terasa enak pada awalnya, tapi sering terasa pahit pada akhirnya. Sekalipun bayangan tersebut dapat terwujud, kita tetap mendapati ketidaksesuaian antara ekspektasi dan kenyataan.

Karenanya, berpikir positif dapat menjadi keliru ketika kita mengarahkannya pada hasil. Itu menurunkan rasa puas kita terhadap hasil yang diraih.

Katakanlah Anda berpikir bahwa pada lomba debat besok, Anda akan menang telak atas lawan Anda. Kemudian orang-orang akan menggelengkan kepalanya sebagai rasa kagum, beberapa dari mereka mulai menyembah Anda. Dan dengan uang hadiah, Anda berfoya-foya.

Meskipun ternyata semua khayalan Anda benar-benar terwujud, rasa puas yang Anda dapatkan tidak akan setinggi yang Anda kira sebelumnya. Karena alasan sederhana: Anda telah "menduganya".

Ini seperti ketika Anda berulang tahun. Jika Anda mengetahui semua rencana kejutan oleh sahabat Anda, rasa terkejut dan gembira Anda tidak bernilai. Tetapi jika Anda tidak tahu apa-apa soal rencana kejutan itu, Anda mendapatkan sensasi kebahagiaan yang tinggi.

Jadi, berpikir positif terhadap hasil berpotensi mengurangi kenikmatan "kemenangan" kita. Bahkan lebih buruknya, jika harapan tersebut tidak terwujud, kekecewaan yang amat-dalam dapat menjadi jawabannya.

Menciptakan kepalsuan rasa aman

Masalah pelik dari berpikir positif adalah ia menciptakan rasa aman yang palsu. Ketika pikiran kita membayangkan hasil positif, kebanyakan dari kita merasa hal tersebut merupakan sebuah penjamin keselamatan.

Orang yang memiliki ekspektasi yang tidak realistis mencoba menggunakan pemikiran positif mereka sebagai pelindung dari kesengsaraan hidup. 

Pada faktanya, tidak peduli berapa banyak pikiran positif yang Anda pikirkan, pasang surut kehidupan tetap akan terjadi.

Dengan kata lain, berpikir positif yang tidak realistis menciptakan kepalsuan rasa aman. Kelahiran, kematian, cinta, amarah, kebencian; semua itu merupakan pemandangan hidup yang dinamis, dan indah.

Melengahkan jerih payah

Menyambung poin sebelumnya, ketika pikiran positif menciptakan rasa aman yang palsu, kita tergoda untuk menurunkan tingkat kinerja. Kita menjadi tidak siap dalam menghadapi tantangan, sebab hal tersebut tidak pernah terbesit dalam pikiran kita.

Kelengahan dalam mencapai tujuan membuat kita mudah terkilir oleh jebakan kecil. Perlahan-lahan kita ditarik menuju lubang kelinci, hingga pada akhirnya kehilangan cara untuk bangkit karena terlampau nyaman dalam imajinasi.

Terlampau jauh berekspektasi

Katakanlah Anda seorang penggemar dari Emma Stone. Suatu hari, Anda membaca suatu artikel yang mengklaim bahwa dengan berpikir positif saja, Anda dapat mewujudkan apa yang Anda inginkan. (Saya pernah membaca buku yang mengklaim hal tersebut).

Kini Anda berpikir positif setiap hari bahwa Anda akan bertemu dengan Emma Stone dalam sebuah kesempatan. Namun, Anda baru saja tersadar bahwa Anda hanya seorang penduduk desa yang bahkan tidak begitu menguasai penggunaan ponsel.

Meskipun sebuah keajaiban dapat saja terjadi, tetapi peluangnya sangat kecil. Dan berpikir positif semacam ini bukan saja menghancurkan, tapi juga membuat Anda menjadi seorang pengkhayal (yang gila).

Lagi pula, mudah untuk dimengerti bahwa strategi berpikir positif dapat menjadi bumerang jika bayangan kita tidak dapat dipercaya, tidak realistis, dan tidak dikonfirmasi oleh pengalaman.

Menutupi keadaan negatif

Bayangkan tangki bensin di mobil Anda rendah, tapi karena Anda yakin akan kekuatan dari berpikir positif, Anda menutupi indikator bahan bakar mobil Anda dengan stiker wajah tersenyum. Apakah itu bermanfaat?

Itulah yang terjadi jika kita berpikir positif untuk menutupi keadaan negatif. Pikiran positif semacam itu sangatlah dangkal dan justru bisa membahayakan.

Pikiran kita memberi wawasan mendalam tentang keadaan kita saat ini. Mereka memberikan umpan balik yang berharga untuk membantu kita mengatasi situasi yang di luar kendali.

Jadi jika Anda menyangkal keadaan negatif, Anda menipu diri sendiri dan mengabaikan naluri pikiran Anda sendiri.

Kapan berpikir positif dapat berguna?

Sekarang Anda dapat mengerti bahwa tulisan ini ada bukan untuk mengutuk kebiasaan berpikir positif, melainkan untuk meluruskan hakikat berpikir positif.

Jika kita telah mengetahui bagaimana sebilah pisau digunakan untuk hal-hal buruk, sekarang kita akan mencari tahu bagaimana memanfaatkannya. Jadi, inilah momen yang tepat untuk Anda berpikir positif.

Optimis pada tindakan dan bukan hasil

Inti dari berpikir positif adalah untuk mengarahkan pikiran kita pada sikap positif yang merangsang optimisme dan membuatnya lebih mudah untuk menghadapi apa yang dibawa oleh kehidupan.

Saya telah menyinggung tentang betapa buruknya ketika bayangan positif diterapkan pada hasil. Maka yang paling tepat adalah menerapkannya pada jerih payah atau tindakan.

Sederhananya begini: optimis pada hasil dapat melemahkan tindakan, tetapi optimis pada tindakan dapat menguatkan hasil. Tindakan ada dalam kendali kita, sedangkan hasil tidak dalam kendali kita.

Berpikir positif pada tindakan dapat mengurangi kecemasan, mengurangi stres dan ketegangan, serta meningkatkan daya ingat. Manfaat ini menciptakan putaran umpan balik yang kuat terhadap kesehatan fisik kita sehingga berkorelasi dengan efektivitas kinerja.

Jelas bahwa berpikir positif bukan sekadar pesan motivasi basi yang banyak dijual kepada kita. Dalam penggunaan yang tepat, rasa optimis pada tindakan membangun peluang keberhasilan yang besar.

Inilah yang membuat beberapa pasien penyakit berat seperti kanker mencapai kesembuhan dengan bantuan berpikir positif: mereka optimis pada perjuangan mereka, bukan pada hasil.

Ada hubungan yang jelas antara seberapa optimis kita dengan seberapa efektif kita, entah itu terkait tubuh, pikiran, karier, bahkan hubungan kita.

Katakanlah Anda ingin memulai bisnis dari nol. Ketimbang berpikir positif tentang menghasilkan laba yang tinggi, lebih baik berpikir positif pada tindakan bahwa Anda memiliki kemampuan untuk menarik minat konsumen dan percaya dapat meningkatkan kemampuan lain seiring bisnis berjalan.

Mengambil nilai atau makna

Seandainya pada suatu pagi saya berjalan-jalan di taman dan tersandung batu, apakah etis saya berpikir bahwa sesosok iblis menaruh batu di sana dan mengalihkan perhatian saya pada ponsel?

Tentu tidak. Di sinilah waktu yang tepat untuk berpikir positif: dalam rangka mengambil nilai atau makna.

Oh, saya berjalan tidak hati-hati dan terlalu sibuk pada ponsel. Artinya di lain waktu, saya harus memerhatikan setiap langkah saya untuk mencegah kesalahan yang sama terulang.

Berpikir positif adalah alat yang ampuh untuk menciptakan nilai nyata dan mendukung disposisi positif secara keseluruhan.

Karena digunakan untuk mengambil nilai atau makna, strategi ini menggunakan pikiran positif di akhir pengalaman. Dan sebenarnya, inilah yang diserukan oleh berbagai agama.

Ketika seorang teman baru saja mengkritik Anda, sebaiknya Anda berpikir bahwa itu merupakan bentuk kepeduliannya ketimbang berpikir bahwa dia membenci Anda. Meskipun dalam hatinya dia membenci Anda, setidaknya Anda tidak ikut membencinya.

Atau saat seorang kerabat dekat meninggal, Anda tetap dapat berpikir positif. Barangkali dalam kasus ini, Anda berpikir positif terhadap Tuhan. Dan itu tidak apa-apa dan malah bagus. Anda membangun kekuatan pada diri sendiri.

Kedua perumpamaan tersebut mengindikasikan bahwa berpikir positif untuk mengambil nilai atau makna, dan karenanya dilakukan pada akhir pengalaman. Anda tidak melakukannya sebelum teman Anda mengkritik atau sebelum kerabat Anda meninggal, bukan?

Meskipun ini terdengar bagus, perlu digarisbawahi bahwa strategi ini juga memiliki batasan. (Saya selalu tekankan bahwa apa pun yang terdapat kata "terlalu" adalah tidak baik).

Misalnya seorang teman mencuri uang Anda dan Anda mengetahuinya. Anda bisa saja berpikir positif bahwa dia sedang sangat membutuhkan uang. 

Tetapi ketika dia meminjam uang Anda pada suatu waktu, Anda harus mempertimbangkannya. Anda perlu membatasi pikiran positif dan mulai berpikir realistis.

Inilah sebabnya alat ini juga memiliki batasan pada apa yang dapat dilakukannya dan hanya bermanfaat jika digunakan dengan cara yang benar.

Berpikir negatif ala Kaum Stoik

Saya mengumpamakan pemikiran negatif itu seperti batu. Anda dapat menjadikannya sebagai senjata, dan jika tidak, Anda bisa tersandung olehnya. Dan inilah yang dilakukan oleh para Kaum Stoik.

Salah seorang Kaum Stoik yang juga seorang Kaisar Romawi, Marcus Aurelius, pernah mengeluarkan pernyataan legendanya:

Awali setiap hari dengan berkata pada diri sendiri: hari ini saya akan menemui kegagalan, orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, hinaan, ketidaksetiaan, niat buruk, dan keegoisan---semua itu karena pelakunya tidak mengerti (ignorant) apa yang baik dan buruk.

Dengan kata lain, Marcus Aurelius mengajak kita untuk berpikir negatif secara sengaja. Ini berguna untuk menyimulasikan keadaan sehingga kita dapat menggambarkan skenario terburuk yang mungkin menimpa kita.

Saya merasakan betapa pentingnya strategi ini untuk tidak bermental "kayu". Ketika mengawali setiap "petualangan" dengan berpikir negatif, saya akan lebih terbuka untuk menerima tantangan sehingga ketika tersandung, saya tidak "patah" seperti kayu.

Coba renungkan, ketika Anda mencoba untuk mengambil dan menghancurkan semua pikiran negatif, Anda selamanya berada dalam posisi defensif. Anda berusaha keras untuk melindungi diri sendiri dan kemungkinan besar akan terganggu olehnya.

Dan bukan itu cara untuk menjadi manusia. Hidup tidak memperkenankan kita untuk menjadi demikian.

Tapi gunakanlah pikiran negatif itu sebagai senjata dalam meningkatkan rasa waspada. Ketika semua bayangan negatif Anda benar-benar terjadi, Anda tidak lagi terkejut.

Seperti dalam kata-kata Seneca (salah seorang Kaum Stoik juga), "Musibah terasa lebih berat jika datang tanpa disangka, dan selalu terasa lebih menyakitkan."

Katakanlah Anda akan presentasi di depan dosen. Dengan menggunakan strategi ini, Anda dapat membayangkan bahwa dosen akan mengkritik Anda habis-habisan, Anda terpeleset kata di tengah presentasi, materi yang Anda bawakan tidak lengkap, dan seterusnya.

Alih-alih melemahkan Anda, justru pemikiran negatif semacam itu harus menguatkan Anda. Sekarang tergambar jelas skenario terburuknya, dan Anda dapat mempersiapkan diri sejak awal.

Seperti ketika Anda mengetahui ramalan cuaca buruk. Ketimbang menghancurkan agenda Anda, lebih baik Anda mempersiapkan diri terhadapnya. Mungkin dengan membawa payung, jas hujan, atau semacamnya. Lebih-lebih lagi jika agenda itu teramat penting.

Rasa realisme kita tentang hidup berkontribusi terhadap lebih banyak kebahagiaan. Penelitian telah menunjukkan bahwa ekspektasi yang rendah menghasilkan kepuasan hidup yang lebih tinggi.

Maka cara menumbuhkan ketangkasan emosional adalah dengan memperhatikan apa yang terjadi, daripada mencoba membutakan diri terhadap hal-hal buruk karena takut hal itu akan menyakiti kita.

(Jika Anda tertarik dengan konsep berpikir negatif ala Kaum Stoik, Anda dapat membacanya lebih lengkap dalam buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring)

Nah, pada akhirnya, berpikir positif itu bukanlah suatu strategi yang bisa diterapkan kapan pun dan pada segala hal. Tidak, tetapi seperti sebuah senjata, ada waktu dan tujuan yang tepat agar mendapatkan manfaatnya.

Dan bahkan kita tidak perlu menyangkal pemikiran negatif. Justru, kita dapat meningkatkan kewaspadaan dengan bantuannya. Karena emosi negatif bukan untuk disangkal, melainkan untuk dipeluk.

Kita lebih menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan. -- Seneca

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun