Mohon tunggu...
Muhammad FauzilAdhim
Muhammad FauzilAdhim Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa jurusan pendidikan Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kecemasan Kontemporer Anak Muda: Menganalisis Dampak Sosial FOMO dalam Era Mediatisasi

29 Juni 2025   18:38 Diperbarui: 29 Juni 2025   18:38 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

PENDAHULUAN

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan dominasi media sosial (medsos), kehidupan anak muda saat ini diwarnai oleh berbagai fenomena sosial yang sangat kompleks. Salah satu fenomena yang paling menonjol adalah munculnya bentuk-bentuk kecemasan baru, di mana  adanya tekanan untuk selalu terhubung dan juga mengikuti perkembangan informasi atau tren terbaru yang ada di media sosial menjadi sangat besar. Dalam Era mediatisasi, di mana media sosial bukan hanya menjadi saluran informasi tetapi juga menjadi sarana yang dapat membentuk realitas sosial kita, hal ini telah menciptakan lingkungan yang unik bagi generasi muda. Dalam konteks ini, Fenomena yang menjadi yang terjadi saat ini juga dinamakan sebagai Fear of Missing Out (FOMO), atau merupakan sebuah ketakutan atau kecemasan akan ketinggalan suatu momen, tren terbaru atau pengalaman yang menyenangkan dan penting yang dialami orang lain, yang telah menjadi fenomena baru yang viral tak terhindarkan.

FOMO bukan hanya sekadar perasaan cemburu yang terjadi sesaat, melainkan sebuah kecemasan kontemporer yang mendalam, hal ini dapat dipicu oleh banyaknya sebuah informasi yang didapatkan dari media sosial yang terus-menerus menampilkan bentuk "kehidupan ideal" yang dimiliki oleh orang lain. Kalangan anak muda, yang secara alami sedang dalam masa atau tahap untuk mencari suatu identitas dan bentuk penerimaan sosial, menjadi sangat rentan terhadap bentuk tekanan ini. Mereka kalangan anak pemuda merasa harus dapat selalu aktif di dunia maya, memeriksa notifikasi atau tren yang sedang viral, dan cenderung untuk membandingkan hidup mereka dengan highlight reel yang dilihat mereka dari kehdupan orang lain. Konsekuensi dari sifat FOMO ini tidak hanya bersifat individual, seperti peningkatan stres dan penurunan kesejahteraan mental, tetapi tentunya juga memiliki sebuah dampak sosial yang cukup luas. Mulai dari perubahan pola interaksi sosial yang terjadi di dunia nyata, bentuk konsumerisme yang didorong oleh keinginan untuk dapat memiliki pengalaman yang sama, hingga adanya potensi isolasi meskipun paradoksnya selalu terhubung secara digital. Oleh karena itu, penting untuk secara mendalam menganalisis bagaimana era mediatisasi ini memicu dan memperparah fenomena FOMO, serta bagaimana fenomena ini pada waktunya akan dapat membentuk dan menentukan dinamika sosial dan psikologis yang dialami oleh anak muda di Indonesia saat ini.

PEMBAHASAN

Era mediatisasi, seperti yang diungkapkan oleh Hjarvard (2008), merujuk pada proses di mana media bukan hanya menjadi alat untuk melakukan komunikasi, tetapi juga secara fundamental media membentuk dan merekonstruksi institusi sosial, budaya, dan bahkan identitas yang dimiliki oleh individu. Bagi anak muda zaman sekarang, kehidupan mereka saat ini tak dapat terpisahkan dari media digital, khususnya platform media sosial. Interaksi sosial, pembentukan opini, hingga konsumsi informasi, kini sebagian besar dimediasi oleh teknologi digital. Dalam konteks ini, realitas sosial yang dialami anak muda menjadi terkonstruksi secara digital. Apa yang mereka lihat di linimasa, status teman, atau unggahan dari tokoh influencer seringkali dipersepsikan sebagai representasi utuh dari kehidupan sosial yang ideal atau aspiratif.

Fenomena ini selaras dengan gagasan Berger dan Luckmann (1966) tentang konstruksi sosial realitas, di mana pengetahuan dan pemahaman kita tentang dunia ini dibentuk melalui interaksi sosial. Di era mediatisasi saat ini, interaksi ini sebagian besar terjadi di ranah virtual, menciptakan semacam realitas hiper-normatif yang seragam dan cenderung positif. Unggahan yang sukses, momen-momen kebahagiaan, dan pencapaian pribadi yang saat ini sudah menjadi sebuah norma yang ditampilkan secara berulang, hal ini jarang dibersamai dengan gambaran kesulitan atau kegagalan. Paparan terus-menerus terhadap narasi ini menumbuhkan persepsi bahwa semua orang menikmati pengalaman yang luar biasa, kecuali diri mereka sendiri. Inilah landasan psikososial tempat FOMO berkembang subur dan menjadi lebih luas, karena standar keberhasilan sosial dan kebahagiaan yang dimiliki oleh individu seolah ditetapkan oleh representasi digital atau standar keberhasilan yang tersebar luas, tentunya hal ini memicu kecemasan bagi pemuda karena mereka merasa akan ketertinggalan atau tidak bisa melakukan apapun.

Fenomena FOMO juga dapat dilihat dari kacamata sosiologis, FOMO dapat kita pahami melalui lensa teori komparasi sosial dari ahli (Festinger, 1954). Dalam lingkungan atau dunia media sosial, anak muda secara tidak sadar ternyata telah terlibat dalam perbandingan sosial ke atas (upward social comparison), yaitu membandingkan diri mereka sendiri dengan kehdipan atau hal yang dimiliki oleh orang lain yang mereka anggap lebih baik, lebih bahagia, atau lebih sukses dari diri mereka sendiri. Platform media sosial yang dirancang untuk dapat memfasilitasi perbandingan ini melalui fitur-fitur seperti like, komentar, dan jumlah pengikut, yang secara implisit menjadi tingkat atau nilai popularitas dan validasi sosial. Ketika anak muda atau individu melihat teman atau kenalan mereka sedang menikmati liburan, menghadiri konser, atau berpartisipasi dalam kegiatan menarik, cenderung muncul adanya dorongan yang  kuat untuk tidak ingin tertinggal dari pengalaman tersebut, hal ini yang merupakan inti dari kecemasan FOMO.

Lebih jauh lagi, konsep modal sosial (Bourdieu, 1986; Putnam, 2000) juga memiliki relevansi yang kuat untuk dapat menjelaskan fenomena FOMO ini. Di era digital saat ini, muncul bentuk modal sosial digital, yang dapat diukur dari jaringan pertemanan online, jumlah pengikut yang dimiliki oleh individu di media sosial, dan tingkat interaksi di media sosial. Anak muda pada saat ini seringkali merasa perlu untuk harus atau terus terhubung dan berpartisipasi dalam tren atau momen yang sedang viral demi untuk menjaga atau meningkatkan modal sosial digital diri mereka. Ketika anak muda yang memiliki sifat FOMO ini mengalami ketinggalan informasi atau peristiwa penting seperti tren viral yang sedang ramai dibicarakan di media sosial mereka dapat mengartikan hal ini menjadi seperti sebuah kehilangan kesempatan untuk berinteraksi, mendapatkan informasi, atau menunjukkan relevansi sosial mereka. Ini menciptakan tekanan untuk selalu online dan up-to-date, bukan hanya karena ketakutan pribadi akan ketinggalan, tetapi juga karena munculnya rasa kekhawatiran akan dampak terhadap status dan jaringan sosial mereka di dunia digital. Fenomena FOMO ini sudah menjadi semacam biaya sosial yang harus dibayar untuk dapat mempertahankan keberadaan dan relevansi dalam ekosistem dunia atau media digital, sekaligus dapat memicu kecemasan yang berkelanjutan.

Dampak sosial dari fenomena FOMO ini merentang dari yang tingkat individu hingga komunitas yang lebih luas, hal ini juga berkontribusi pada kecemasan kontemporer anak muda saat ini. Pada tingkat individu, FOMO dapat memicu isolasi sosial paradoksal. Meskipun anak muda selalu terhubung secara daring, perasaan kesepian dan terasingkan masih dapat meningkat karena adanya perbandingan sosial yang konstan dan tekanan untuk menampilkan citra yang selalu sempurna (Przybylski et al., 2013). Mereka mungkin menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial daripada berinteraksi secara tatap muka, yang pada akhirnya hal ini dapat mereduksi kualitas hubungan interpersonal. Hubungan yang tadinya didasari interaksi mendalam, telah bergeser menjadi hubungan berbasis penampilan saja di mana validasi dicari melalui like dan komentar, yang kemudian hal ini telah memperdalam kecemasan mereka.

Selain itu, FOMO juga dapat mendorong konsumerisme digital. Keinginan untuk tidak mau ketinggalan tren, memiliki produk terbaru yang dipamerkan oleh influencer, atau mengunjungi tempat-tempat yang instagrammable mendorong pola konsumsi yang seringkali mengarah tidak rasional. Anak muda saat ini mungkin merasa tertekan untuk harus membeli suatu barang atau jasa tertentu demi mengikuti gaya hidup yang dipamerkan di media sosial, meskipun kemampuan finansial mereka terbatas. Hal ini tentunya telah menciptakan lingkaran setan: semakin banyak yang dikonsumsi, semakin banyak yang dipamerkan, dan semakin besar tekanan bagi orang lain untuk ikut serta dalam fenomena ini. Fenomena ini juga berkontribusi pada komodifikasi pengalaman, di mana pengalaman hidup tidak lagi dinikmati untuk esensinya, melainkan untuk potensi konten yang dapat dihasilkan dan dibagikan di media sosial, memperburuk kecemasan akan "memiliki" pengalaman yang layak dipamerkan. Pada skala komunitas, FOMO dapat berkontribusi pada fragmentasi komunitas nyata. Ketika perhatian individu terlalu terfokus pada dunia digital dan terus melakukan perbandingan dengan kehidupan yang dimiliki oleh orang lain, ikatan sosial di lingkungan fisik mungkin cenderung akan melemah. Partisipasi dalam kegiatan lokal, melakukan interaksi dengan tetangga, atau dukungan terhadap isu-isu komunitas dapat tergerus oleh fokus pada dunia maya. Hal ini berpotensi mereduksi modal sosial yang mengikat (bonding social capital) dalam komunitas, yang penting untuk kohesi sosial dan aksi kolektif. Sebaliknya, FOMO mendorong pembentukan modal sosial menjembatani (bridging social capital) yang lebih luas namun dangkal, di mana koneksi terjalin dengan banyak orang namun tanpa adanya kedalaman emosional atau komitmen sosial yang kuat, sehingga hal ini justru memperlebar jurang antarindividu dalam komunitas fisik.

Menyoroti urgensi pengembangan resiliensi digital dan literasi media di kalangan anak muda saat ini. Resiliensi digital mengacu pada kemampuan individu untuk dapat menavigasi lingkungan digital yang kompleks dengan tetap mampu mempertahankan kesejahteraan mental dan otonomi dirinya sendiri. Ini melibatkan kemampuan untuk mengenali dan mengelola tekanan digital, termasuk FOMO dan bentuk kecemasan kontemporer lainnya, serta membatasi waktu dalam bermain media sosial dan tetap untuk memprioritaskan interaksi tatap muka yang bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun