Sementara itu, literasi media menjadi hal yang penting untuk dapat membantu anak muda memahami bagaimana media sosial mengkonstruksi realitas, mengenali bias dalam konten yang mereka lihat, dan mengembangkan pemikiran kritis terhadap narasi yang disajikan. Pendidikan tentang digital well-being, identitas digital yang sehat, dan pentingnya keseimbangan antara kehidupan daring dan luring perlu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dan inisiatif masyarakat. Pemerintah, institusi pendidikan, orang tua, dan penyedia platform media sosial memiliki peran kolektif dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat. Ini termasuk merancang platform yang tidak mendorong adanya perbandingan yang bersifat kompulsif, mempromosikan konten yang beragam dan otentik, serta menyediakan sumber daya dukungan untuk menjaga kesehatan mental bagi anak muda yang terpengaruh oleh fenomena FOMO. Dengan demikian, anak muda dapat menjadi agen yang lebih mandiri dan kritis dalam menghadapi arus mediatisasi, bukan sekadar objek yang rentan terhadap kecemasan kontemporer.
KESIMPULAN
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) merupakan manifestasi nyata dari kecemasan kontemporer yang signifikan di kalangan anak muda, dengan akar yang kuat dalam era mediatisasi. Ananalisis sosiologis menunjukkan bahwa mediatisasi tidak hanya mengubah cara berkomunikasi, tetapi secara fundamental juga telah merekonstruksi realitas sosial anak muda, menciptakan lingkungan di mana representasi digital seringkali menjadi standar normatif kebahagiaan dan kesuksesan. Melalui mekanisme komparasi sosial yang intens dan upaya mempertahankan modal sosial digital, anak muda terpapar pada tekanan konstan untuk selalu terhubung dan terlibat, memicu kecemasan akan ketertinggalan.
Dampak sosial FOMO meluas dari ranah individual hingga struktur sosial yang lebih besar. Pada tingkat individu, FOMO dapat paradoksnya meningkatkan isolasi sosial meskipun konektivitas digital meningkat, serta mendorong konsumerisme digital yang tidak rasional. Pada skala komunitas, fenomena ini berpotensi menyebabkan fragmentasi komunitas nyata akibat pergeseran fokus dari interaksi tatap muka ke interaksi daring yang dangkal. Oleh karena itu, mengatasi FOMO dan kecemasan terkait mediatisasi memerlukan pendekatan holistik. Penting untuk mengembangkan resiliensi digital dan literasi media di kalangan anak muda, memungkinkan mereka untuk secara kritis menavigasi lanskap digital dan membangun keseimbangan antara kehidupan daring dan luring. Kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk institusi pendidikan, keluarga, dan penyedia platform, menjadi esensial untuk menciptakan lingkungan digital yang mendukung kesejahteraan mental dan sosial anak muda.
Daftar Pustaka
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Doubleday.
Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241-258). Greenwood Press.
Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117-140.
Hjarvard, S. (2008). The mediatization of society: A metaphor for media change. Northern Lights: Film & Media Studies Yearbook, 6(1), 19-32.
Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster.
Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of Fear of Missing Out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841-1848.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI