Mohon tunggu...
MUHAMMAD RIZALDY
MUHAMMAD RIZALDY Mohon Tunggu... Wiraswasta - tugas kuliah

nama saya muhammad rizaldy

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sudah Efektifkah Penatalaksanaan Kerja Sama Paradilomasi Antara Surabaya dan Kitakyushu

25 Januari 2021   06:00 Diperbarui: 25 Januari 2021   06:46 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Disusun oleh : Muhammad Rizaldy (201710360311086)

Program kerja diplomasi antar daerah secara Internasional, telah dilakukan oleh Kota Surabaya selaku Ibukota Provinsi Jawa Timur dalam meningkatkan reputasi manajemen pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumber daya hayati yang dimiliki. Menurut Darsono (1999), diketahui bahwa sumber daya hayati atau biodiversity yakni meliputi flora dan fauna meliputi hutan mangrove, terumbu karang, ikan. Sedangkan sumber daya alam non hayati yaitu seperti gas alam, minyak bumi.[1] 

Kemudian, mengacu pada regulasi menurut UU no 32 tahun 2004 Pasal 18 ayat 4, diketahui bahwa kewenangan pengelolaan sumber daya tersebut yaitu pada sejauh 12 mil laut yakni berada pada kewenangan Provinsi, sedangkan diukur dari garis dasar ke arah laut lepas atau dari sepertiga yaitu kewenangan laut dipegang oleh Kabupaten/Kota.  Kemudian, terkait sumber daya alam hayati perikanan maupun sumber daya alam non-hayati yaitu merujuk pada masyarakat pesisir, dalam naungan Pasal 1 Ayat 9 UU No. 32 tahun 2009 terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Record paradiplomasi oleh pemerintah Kota Surabaya yang layak disorot yakni adanya kerjasama bersama daerah Kitakyushu dalam mewujudkan Suistanable Development  dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup, salah satunya yakni sumber daya hayati atas kekayaan hutan bakau mangrove. 

Dilansir dari Humas SBY (2020) mengungkapkan bahwa adanya paradiplomasi Sister City antara Kota Surabaya dengan Kitakyushu-Jepang telah mendorong banyaknya penelitian ekosistem mangrove di kawasan Wonorejo hingga Gunung Anyar Surabaya oleh para mahasiswa yang berasal dari Jepang tersebut, dimana paradiplomasi ini menghasilkan adanya identifikasi 43 jenis spesies mangrove yang tumbuh subur di wilayah tersebut[2], sekaligus perencanaan program kerja lanjutan berupa daya tarik wisata, unsur edukasi, dan peluang terbukanya wilayah Kota Surabaya untuk menjadi salah satu destinasi penelitian terkait kekayaan biodiversitas. 

Akan tetapi apabila dikritik, Administrasi Kerjasama Pemkot Surabaya (2019) menegaskan bahwa di tahun 2019 lalu, para mahasiswa asal Surabaya dan Jepang, hingga Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya bersama masyarakat dan LSM peduli lingkungan turut menggelar acara workshop yang membahas pembangunan revitalisasi lingkungan pantai timur yang hendak dijadikan Pusat Koleksi Konservasi dan Perservasi Vetegasi mangrove di Indonesia. [3] Dimana pembudidayaan mangrove dan juga pelestarian habitat oleh mangrove ini masih terkendala oleh banyaknya sampah plastik yang terbawa arus laut yang mana mereka banyak melekat pada batang-batang bakau sehingga menganggu pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan mangrove sendiri. 

Sangat disayangkan apabila paradiplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya hanya sebatas dari peningkatan potensi materi terkait pengelolaan hutan bangkau untuk menjadi destinasi pariwisata dan non materi terkait edukasi serta penelitian-penelitian semata, yang mana permasalahan urgensi sendiri terletak pada konsepsi pemahaman masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai, maupun aliran air yang bermuara ke pantai. 

Di sisi lain, populasi sampah di Kota Surabaya di tahun 2017-2018 telah mencapai lonjakan hingga 2.913,18 ton dalam sehari.[4] Sehingga skala prioritas yang seharusnya ditonjolkan dalam mekanisme paradiplomasi bersama Jepang sendiri, berpeluang untuk memulai kerangka kerja pada adopsi teknologi-teknologi dalam pendistribusian, pemilahan hingga penghancuran sampah plastik yang cukup aman dan efisien, sebelum kerangka kerja pelestarian sumber daya hayati dapat dilaksanakan dengan memadai. 

Apabila dicermati lebih mendalam, sisi paradiplomasi bukan hanya mendorong pemerintah daerah untuk melanggengkan kerjasama Internasional agar dapat berkompetisi secara ekonomi semata, namun juga turut berpartisipasi membantu negara agar saling melaksanakan program-program lingkungan yang menjadi resolusi fenomena terbesar di saat itu. Di sisi lain, Surabaya masih perlu banyak berbenah diri untuk menuntaskan permasalahan sampah di dalam kota tersebut sebelum melakukan berbagai kerjasama perihal perekonomian yang mempergunakan habitat mangrove sebagai modal materi di masa depan.

Jepang sendiri merupakan negara berpotensi yang layak untuk diperjuangkan agenda Sister City yang dimiliki oleh Surabaya dengannya, dimana menurut penelitian oleh Chow (2017), Jepang sudah memiliki alat pendistribusian sampah dari masyarakat yang kemudian didistribusikan pada industri pengelolaan sampah untuk dihancurkan dan dijadikan produk baru.[5] 

Maka agenda ini sebenarnya dapat dimaksimalkan dengan adanya pemerintah Surabaya untuk turut mengulik bagaimana kinerja pemerintah-pemerintah daerah di Jepang dalam mengembangkan teknologi serta alur program tersebut, mengetahui bahwa permasalahan sampah plastik merupakan konflik lingkungan yang paling mendasar dan dimiliki oleh setiap kota di dunia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun