Mohon tunggu...
Admin
Admin Mohon Tunggu... Jurnalis - Read To Write

Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kegagalan Mendikbud dalam Membaca Problem Pendidikan Nasional

20 Oktober 2021   03:19 Diperbarui: 20 Oktober 2021   03:25 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhamad Tonis Dzikrullah/Dokpri

Tulisan ini merupakan bentuk kritik atas dokumen "Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035" yang dikeluarkan oleh Kemendikbud pada medio Mei 2020 yang lalu. Jika diamati dengan serius, isi draft Peta Jalan Pendidikan tersebut, masih perlu adanya berbagai catatan kritis serta masukan terkait rancangan kebijakan tersebut.

Bias kelas menengah hanya sebagian kecil dari banyaknya kejanggalan "Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035" yang menunjukkan kegagapan para pengambil kebijakan dalam membaca keadaan hari ini bersama berbagai problem pendidikan yang dihadapi serta merespon berbagai perubahan yang sedang terjadi. Hingga muncul pertanyaan fundamental yang sekiranya perlu dijawab, yakni tujuan pendidikan ini sebenarnya untuk apa dan untuk siapa?

Integrasi revolusi teknologi informasi dan bioteknologi akan menyebabkan banyak pekerjaan saat ini menjadi tidak relevan dan sebagian besar manusia akan kehilangan pekerjaan. Lantas apa yang mesti diajarkan di sekolah? 

Untuk menghadapi dunia pada tahun 2050 tidak hanya butuh kemampuan untuk berurusan dengan perubahan, mempelajari hal-hal baru, dan menjaga keseimbangan mental untuk menghadapi situasi yang tidak kita kenal. Selain kemampuan menemukan ide dan produk baru, kita perlu menemukan diri kita kembali.

Jika dunia akan dibentuk dengan integrasi revolusi teknologi informasi dan bioteknologi, haruskah pendidikan diarahkan ke sana?  Haruskah anak-anak kita tanpa terkecuali belajar bahasa program? Tentu kita bisa mengambil tindakan dengan misalnya menggenjot pengembangan pendidikan teknologi informasi, mengembangkan berbagai pusat teknologi informasi, kita juga bisa mengembangkan lingkungan kondusif untuk pengembangan start-up, ataupun memberikan insentif untuk tumbuhnya unicorn, decacorn, dan lain sebagainya. Namun kenyataannya model bisnis pada prinsipnya tidak pernah berubah, pada akhirnya tetap saja "modal" dan "hukum pasar" juga yang menentukan.

Semestinya pendidikan merupakan sebuah proses "pencerahan", proses menemukan jati diri, serta upaya mempersiapkan manusia agar selamat hidupnya dan tentu supaya bisa bekerja di kemudian hari. Pendidikan sebagai proses "pencerahan" tersebut sudah pernah dirumuskan Tan Malaka sebagai jalan menuju tajamnya pikiran dan halusnya perasaan. Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan sebagai proses memerdekakan manusia.

Pendidikan sebagai proses pencerahan tidak  hanya untuk mengantarkan anak memperoleh  pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk kehidupannya. Tiga fungsi utama pendidikan yaitu kualifikasi, sosialisasi, dan subjektifikasi. Kualifikasi berlangsung dengan proses memberikan pengetahuan, ketrampilan, pemahaman, dan juga watak atau kemampuan memutuskan bertindak berlandaskan nilai-nilai sosialisasi.

Dengan sosialisasi seorang individu bisa hidup dalam tatanan sosial, melalui subjektivikasi dapat tumbuh menjadi manusia otonom yang memiliki, mampu dan berani berpikir sendiri menantang tataban sosial yang ada. Dengan demikian pendidikan tidak hanya menjadi instrumen status quo tetapi bersifat emansipatoris.

Dalam Draft "Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035" keluarkan Kemendikbud (hal 30) disebutkan visi pendidikan Indonesia 2035 yakni "membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila. Visi seperti itu tidak membuat kita terang benderang tapi justru mengaburkan pandangan. 

Begitu moralisnya rumusan visi tersebut sehingga "akhlak mulia", "nilai-nilai budaya bangsa", dan "Pancasila" semua diborong. Perlu diwaspadai bahwa dibalik bahasa moralis tersebut jangan-jangan justru merupakan cerminan ketidakberdayaan kita menghadapi realitas masyarakat yang konsumeristik, timpang, abai pada etik, permisif terhadap hal-hal koruptif, dan sektarian.

Sulit juga memahami apa yang dimaksud dengan "pembelajar seumur hidup yang unggul", mungkin kelak pada 2035 para Lansia masih giat dan unggul dalam belajar? Haruskah semua anak menjadi murid-murid unggul? Apa yang dimaksud "unggul" disitu? Lalu bagaimana dengan anak-anak yang mengalami keterbatasan bawaan?

Dalam draft tersebut Kata "unggul" muncul kembali pada halaman berikutnya dalam judul "SDM unggul merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila". Seringkali kita terjebak pada jargon muluk-muluk yang tidak memberikan kejelasan arah tujuan pendidikan kita. 

Apa itu "SDM unggul"? Apa itu "kompetensi global"? Penggunaan konsep sumber daya manusia (SDM) dalam kebijakan pendidikan tidak semestinya diterima karena dalam hal ini kemanusiaan seolah menjadi unsur proses industri yang hanya diukur dengan nilai tukar berdasarkan manfaatnya. 

Konsep "SDM unggul" merujuk pada nilai tambah yang tinggi. Ketika kita berbicara tentang pembelajar unggul atau SDM unggul terkesan berbau fasis karena secara tidak langsung di situ terkandung maksud untuk menyisihkan yang tidak unggul. Sangat tragis ketika Istilah konsep "SDM unggul" itu disandingkan dengan perilaku dan nilai-nilai Pancasila.

Visi dan tujuan pendidikan tersebut secara diametral bertentangan dengan konsep belajar sebagai upaya pemerdekaan yang pernah diletakkan oleh para perintis pendidikan nasional seperti Ki Hadjar, Mohammad Sjafe'i, maupun Tan Malaka. 

Karena itu tidak heran ketika jargon "merdeka belajar" ala Nadiem Makarim itu tidak menangkap esensi belajar pendidikan memerdekakan yang sudah digagas para tokoh peletak dasar pendidikan nasional. 

Di satu pihak berbicara tentang belajar merdeka tetapi yang dirancang justru pendidikan instrumentalis yang tunduk pada pasar. Karakter murid pun mau disurvei dan diukur. Peta jalan pendidikan nasional yang dirancang tersebut terkesan bias kelas menengah. Dari hal tersebut sudah bisa diraba ke mana arah pendidikan akan dibawa.

Pola pendidikan bergaya kelas menengah dan bersifat elitis, bukan saja bertentangan dengan realitas sosial yang ada, tetapi juga bertentangan dengan cita-cita para perintis pendidikan nasional. Pendidikan yang bersifat elitis sangat ditentang oleh Ki Hadjar, Tan Malaka, dan Mohammad Sjafe'i karena yang seharusnya dibangun adalah pendidikan untuk rakyat. 

Selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun struktur ketenagakerjaan kita tidak mengalami banyak perubahan, tenaga kerja masih saja didominasi lulusan SD dan SMP dan rata-rata bekerja di sektor pertanian yang kontribusinya pada Produk Domestik Bruto (PDB) semakin mengecil. 

Untuk itu jika kebijakan pendidikan nasional cenderung berorientasi pada kelas menengah, sebagian besar anak-anak Indonesia akan terseok-seok, tidak menerima manfaat dengan maksimal, dan bisa dipastikan akan terabaikan hak dasar mereka dalam bidang pendidikan.

Oleh; Muhamad Tonis Dzikrullah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun