Mohon tunggu...
Admin
Admin Mohon Tunggu... Jurnalis - Read To Write

Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kegagalan Mendikbud dalam Membaca Problem Pendidikan Nasional

20 Oktober 2021   03:19 Diperbarui: 20 Oktober 2021   03:25 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhamad Tonis Dzikrullah/Dokpri

Sulit juga memahami apa yang dimaksud dengan "pembelajar seumur hidup yang unggul", mungkin kelak pada 2035 para Lansia masih giat dan unggul dalam belajar? Haruskah semua anak menjadi murid-murid unggul? Apa yang dimaksud "unggul" disitu? Lalu bagaimana dengan anak-anak yang mengalami keterbatasan bawaan?

Dalam draft tersebut Kata "unggul" muncul kembali pada halaman berikutnya dalam judul "SDM unggul merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila". Seringkali kita terjebak pada jargon muluk-muluk yang tidak memberikan kejelasan arah tujuan pendidikan kita. 

Apa itu "SDM unggul"? Apa itu "kompetensi global"? Penggunaan konsep sumber daya manusia (SDM) dalam kebijakan pendidikan tidak semestinya diterima karena dalam hal ini kemanusiaan seolah menjadi unsur proses industri yang hanya diukur dengan nilai tukar berdasarkan manfaatnya. 

Konsep "SDM unggul" merujuk pada nilai tambah yang tinggi. Ketika kita berbicara tentang pembelajar unggul atau SDM unggul terkesan berbau fasis karena secara tidak langsung di situ terkandung maksud untuk menyisihkan yang tidak unggul. Sangat tragis ketika Istilah konsep "SDM unggul" itu disandingkan dengan perilaku dan nilai-nilai Pancasila.

Visi dan tujuan pendidikan tersebut secara diametral bertentangan dengan konsep belajar sebagai upaya pemerdekaan yang pernah diletakkan oleh para perintis pendidikan nasional seperti Ki Hadjar, Mohammad Sjafe'i, maupun Tan Malaka. 

Karena itu tidak heran ketika jargon "merdeka belajar" ala Nadiem Makarim itu tidak menangkap esensi belajar pendidikan memerdekakan yang sudah digagas para tokoh peletak dasar pendidikan nasional. 

Di satu pihak berbicara tentang belajar merdeka tetapi yang dirancang justru pendidikan instrumentalis yang tunduk pada pasar. Karakter murid pun mau disurvei dan diukur. Peta jalan pendidikan nasional yang dirancang tersebut terkesan bias kelas menengah. Dari hal tersebut sudah bisa diraba ke mana arah pendidikan akan dibawa.

Pola pendidikan bergaya kelas menengah dan bersifat elitis, bukan saja bertentangan dengan realitas sosial yang ada, tetapi juga bertentangan dengan cita-cita para perintis pendidikan nasional. Pendidikan yang bersifat elitis sangat ditentang oleh Ki Hadjar, Tan Malaka, dan Mohammad Sjafe'i karena yang seharusnya dibangun adalah pendidikan untuk rakyat. 

Selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun struktur ketenagakerjaan kita tidak mengalami banyak perubahan, tenaga kerja masih saja didominasi lulusan SD dan SMP dan rata-rata bekerja di sektor pertanian yang kontribusinya pada Produk Domestik Bruto (PDB) semakin mengecil. 

Untuk itu jika kebijakan pendidikan nasional cenderung berorientasi pada kelas menengah, sebagian besar anak-anak Indonesia akan terseok-seok, tidak menerima manfaat dengan maksimal, dan bisa dipastikan akan terabaikan hak dasar mereka dalam bidang pendidikan.

Oleh; Muhamad Tonis Dzikrullah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun