Mohon tunggu...
Admin
Admin Mohon Tunggu... Jurnalis - Read To Write

Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik - Otokritik untuk Pertegas Posisi & Potensi GMNI Dalam Menjawab Panggilan Sejarah

12 Oktober 2021   17:08 Diperbarui: 23 Maret 2024   12:37 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhamad Tonis Dzikrullah (kader GMNI)/dokpri

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sekedar mendengar namanya, rasa-rasanya kita akan mafhum bahwa organisasi yang berdiri pada 23 Maret 1954 ini terlahir sebagai organisasi perjuangan yang hendak merajut basis di kalangan cendekiawan. 

Namun agaknya jika kita menelisik pada fenomena yang bertebaran, titel ini terlihat bias, mengingat diskursus yang mencuat tidak juga beranjak dari konflik internal, romantisme buta, glorifikasi person, dan tak jarang juga pseudo heroisme. 

Fenomena ini mudah ditangkap pada momen-momen seperti kaderisasi dan diskusi, ataupun pada sesuatu yang sifatnya eksistensial, taruhlah aspek struktural dan kultural. 

Tulisan ini mungkin akan terkesan sinis, kendati sukar untuk menampik fakta bahwa sebagai organisasi Gerakan, GMNI tampak sempoyongan dengan beragam konflik yang tak berkesudahan dan terlihat gagap dalam merajut perkembangan dinamika.

Titel sebagai "pewaris api" Bung Karno, sepertinya masih sekedar berupa titel belaka. Dalam hal pemahaman Ajaran Bung Karno berupa Marhaenisme pun masih sebatas  konsepsi minus eksplorasi, seolah Bung Karno memaklumkan ajarannya sebagai sesuatu "yang sudah jadi", dan bukan sesuatu "yang menjadi". 

Parahnya, Marhaenisme kemudian lebih tampak hanya sebagai hapalan yang minus tindakan, atau ideologi yang hanya sekedar dekorasi organisasi, padahal ideologi seyogyanya diperlakukan sebagai suluh atau bintang penuntun, yang pada gilirannya akan menjelma sebagai keyakinan yang berorientasi pada sebuah tindakan. Sesuai dengan hakikatnya, selain sebagai identitas organisasi, ideologi harusnya memberi landasan berfikir dan bertindak. 

Tak elok rasanya jika ada yang berseloroh; kaum Marhaen hanya dibicarakan, tapi nyaris tidak pernah diajak bicara.

Tanpa bermaksud menjustifikasi, dengan berkaca pada horison Gerakan, krisis memang tidak hanya mendera GMNI, tapi juga organisasi pergerakan mahasiswa lainnya. Adalah wajar kiranya jika masyarakat kemudian bertanya tentang posisi dan potensi gerakan mahasiswa dalam menjawab panggilan sejarah; "What its to be done?" Kalau istilah Lenin. Jawaban yang tersaji sangat mungkin akan jauh dari kata memadai. 

Fenomena yang terhampar memang seolah menegaskan "kasak-kusuk" yang beredar tentang problem akut pelbagai organ Gerakan: jangankan melakukan perubahan, sekedar "survive" dan membenahi persoalan internal pun kelabakan. Alih-alih bergegas menuntaskan perubahan dan menyediakan haribaan terang masa depan, energi organisasi seolah sudah habis hanya untuk dan didalam dirinya sendiri.

Akan dibawa kemana GMNI kedepan? pertanyaan ini sering mencuat, kendati jarang terjawab. GMNI tampak mengidap semacam situasi akut berupa dis-orientasi, yang membuatnya kelimpungan menata visi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun