Mohon tunggu...
Muhamad Rifki Ramadhan
Muhamad Rifki Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tumpahan pikiran yang menumpuk di kepala

Pekerja sains, pengamat dunia olahraga, dan penikmat film dan karya fiksi

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kenapa European Super League Bisa Menghancurkan Sepak Bola

20 April 2021   18:20 Diperbarui: 21 April 2021   13:57 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12 klub elite Eropa mengumumkan terbentuknya European Super League (ESL), kompetisi elit tandingan Liga Champions Eropa | barcauniversal.com

Kemarin, 12 klub elite Eropa mengumumkan terbentuknya European Super League (ESL), kompetisi elit tandingan Liga Champions Eropa.

Klub-klub tersebut adalah Manchester United, Manchester City, Arsenal, Chelsea, Liverpool, Tottenham, Juventus, AC Milan, Internazionale, Real Madrid, Barcelona, dan Atletico Madrid.

Klub-klub ini menamai diri mereka 'ESL founder club' dan dikabarkan akan ada 3 klub lagi yang akan bergabung, melengkapi anggota 'founder club' menjadi 15.

ESL direncanakan sebagai kompetisi yang terdiri dari 20 tim-15 tim founder dan 5 tim tambahan yang dipilih berdasarkan sistem kualifikasi tertentu.

20 tim tersebut dibagi menjadi dua grup yang masing-masing bertanding satu sama lain, kandang dan tandang. 4 tim dengan poin tertinggi dari masing-masing grup masuk ke babak perempat final.

Perempat final dan semi final diadakan dengan sistem 2 leg, dan diakhiri 1 leg laga final. Pertandingan diadakan pada tengah pekan, sejalan dengan musim liga domestik.

Sekilas, ini seperti kabar baik untuk fans sepakbola di seluruh dunia. Akan ada pertandingan MU vs Barca di satu pekan, Juventus vs Madrid di pekan selanjutnya, diikuti Chelsea vs Inter, dan seterusnya.

Kita tidak akan kehabisan Big Match setiap minggunya. Tidak perlu lagi menonton pertandingan tim favorit kita melawan tim-tim semenjana yang sudah bisa ditebak hasilnya. Seperti Liga Champions, tapi tanpa tim-tim anak bawang macam Ludogorets, Malmo, atau Qarabag yang hanya jadi penggembira saja.

Sayangnya, ESL tidak akan seindah kedengarannya.

Scarcity = Value

Prinsip ekonomi menyatakan bahwa kelangkaan (scarcity) suatu barang akan meningkatkan nilainya (value). Berlian dihargai tinggi karena sulit untuk didapatkan.

Dulu, harga aluminium setara emas dan logam mulia lain, tapi setelah ditemukan teknik untuk memurnikannya, ia menjadi mudah didapatkan dan hanya menjadi logam biasa. Prinsip ini juga berlaku di olahraga.

Olimpiade menjadi ajang yang prestisius karena hanya berlangsung 4 tahun sekali. Piala Dunia merupakan suatu perhelatan yang megah karena tidak setiap tahun diadakan. Setiap atlet berlatih mati-matian untuk bisa mewakili negaranya di Olimpiade. Fans rela bepergian melintasi benua hanya untuk menonton pertandingan Piala Dunia.

Manchester United vs Barcelona menjadi spesial bukan hanya karena mereka adalah dua klub besar di masing-masing negaranya, tapi juga karena mereka jarang bertemu satu sama lain; dan sekalinya mereka bertemu, pastilah di panggung yang besar dan megah: final Liga Champions tahun 2009 lalu misalnya.

Kejarangan itu yang membuat kita selalu menerka-nerka, kalau mereka bertemu sekarang, kira-kira siapa yang bakal unggul. Dan ketika pertemuan itu benar terjadi, kita menjadi sangat excited.

Di musim pertama ESL, mungkin kita masih semangat dengan Big Match setiap minggunya. Tapi seiring waktu, pertandingan-pertandingan itu menjadi sesuatu yang biasa, bagian dari rutinitas. Big Match yang berlangsung setiap minggu bukanlah Big Match, tapi Usual Match. Pertandingan-pertandingan itu akan kehilangan sesuatu yang membuatnya spesial. Kita tidak menunggu-nunggu lagi pertemuan dua klub jagoan masing-masing negara karena sudah sering terjadi.

Kita tidak akan memaksakan diri untuk begadang menonton City vs AC Milan, karena beberapa minggu ke depan akan ada lagi. Kita gak akan terlalu kecewa ketika ketiduran menonton Atletico vs Arsenal karena baru menonton beberapa minggu lalu.

Masalahnya, ketika kita sebagai fans sepakbola sudah tidak lagi excited dengan pertandingan sekelas Liverpool vs Barcelona atau Juventus vs Real Madrid, lalu apa?

Mengutip Syndrome di The Incredibles, "When everyone's super, no one will be".

Membunuh Ruh Kompetisi

Di ESL, 15 tim founder sudah pasti akan berpartisipasi. Tidak ada sistem kualifikasi untuk mereka. Andai kata mereka terdegradasi di liga domestik pun, mereka masih bisa bermain di ESL. Hanya 5 tempat yang terbuka untuk klub lain dan mekanisme kualifikasinya pun belum jelas seperti apa.

Sistem ini mencederai ruh olahraga itu sendiri, yaitu kompetisi. Hal yang indah dari olahraga adalah pada akhirnya, semua ditentukan oleh hasil di atas lapangan. Status di luar lapangan---klub besar atau klub kecil, pemain bintang atau pemain amatir, kelas ningrat atau kelas pekerja---tidak memiliki arti apa-apa ketika pluit pertandingan dibunyikan. Hasil pertandingan hanyalah berdasarkan apa yang terjadi di lapangan.

Selama lebih dari 100 tahun, liga-liga sepakbola di Eropa bekerja berdasarkan prinsip itu. Hasil pertandingan menentukan posisi klasemen; posisi klasemen menentukan nasib sebuah klub: juara, degradasi, atau lolos ke kompetisi antar-klub.

Apa yang memberikan klub-klub founder ESL itu hak untuk mendapatkan jatah tetap di kompetisi? Karena mereka menasbihkan diri sendiri sebagai 'klub elit Eropa'? Bukankah yang dapat menentukan itu adalah dan hanyalah hasil pertandingan?

Yang mereka jual sebenarnya hanyalah sejarah. Mereka dianggap dan mengaggap diri mereka sendiri klub elit Eropa karena pencapaian-pencapaian di masa lalu. Sedekat apapun masa lalu itu--10 tahun, 5 tahun, 2 tahun---tetaplah masa lalu, dan tidak relevan untuk menentukan nasib sebuah kompetisi. Hey, bahkan banyak klub lain yang lebih sukses secara historis daripada beberapa klub founder itu.

Jaminan keikutsertaan ini juga membuat klub-klub founder tidak mempertaruhkan apa-apa di liga domestik. Nothing to lose.

Logikanya, mereka akan menomor-duakan liga domestik dan fokus ke ESL yang lebih prestisius. Liga domestik tak ubahnya akan seperti Carabao Cup, hanya jadi ajang unjuk gigi pemain lapis dua klub-klub elit tersebut. Entah Carabao Cup akan jadi apa nantinya.

Menutup Kesempatan Tim Lain untuk Berkembang

Hanya terbukanya 5 tempat di ESL membuat kesempatan klub-klub lain untuk tampil di panggung besar menjadi semakin kecil. Ya, memang tujuan ESL adalah untuk meniadakan klub-klub 'penggembira' yang hanya jadi bulan-bulanan klub besar. Padahal, performa klub-klub 'kecil' itu juga dapat menjadi daya tarik sebuah kompetisi.

Tengoklah Lyon di Liga Champions musim lalu dan Ajax di musim sebelumnya. Lebih ke belakang, ada Deportivo dan Porto yang menjadi finalis tak terduga di 2004. Iceland di Piala Eropa 2016, Ghana di Piala Dunia 2010. Cerita-cerita kesuksesan tim underdog seperti itu selalu menarik untuk diikuti.

Orang-orang yang tidak senang dengan kesuksesan mereka hanyalah fans dari tim-tim yang mereka kalahkan dan pemilik klub yang gagal meraup keuntungan maksimal. Pencetus ESL adalah golongan yang kedua.

Dan ini bukan tentang cerita romantisme sepakbola semata. Klub-klub yang melaju jauh di Liga Champions atau liga domestik akan mendapat banyak pemasukan untuk membentuk tim di musim selanjutnya. Klub dapat merekrut pemain yang lebih berkualitas, mempertahankan prestasi di musim selanjutnya, dan menarik pemain-pemain yang lebih berkualitas lagi.

Ambil contoh Leicester City. Setelah menjuarai liga inggris di tahun 2016, mereka dapat mempertahankan kualitasnya; bukan menjadi one season wonder, tapi berhasil bersaing dengan the big six setiap musimnya.

Mereka bahkan sempat melaju sampai perempat final Liga Champions dan Liga Europa. Dan melihat bagaimana Leicester menjadi salah satu klub dengan manajemen terbaik saat ini, saya yakin mereka akan tetap berada di level tinggi dalam 5--10 tahun ke depan.

Kalau dilihat beberapa musim ke belakang pun, harusnya kita sudah mengeluarkan Arsenal dan memasukkan Leicester ketika bicara klub big six.

Di Italia, Atalanta telah berkembang menjadi pesaing serius posisi Liga Champions selama beberapa musim terakhir. Sementara, mantan pesaing posisi Liga Champions di Jerman, Schalke, berada di dasar klasemen dan akan degradasi musim ini.

The thing is, itu adalah hal yang normal. Itulah kompetisi. Akan selalu ada tim yang lebih kuat dan akan selalu ada tim yang lebih lemah. Normalnya, tim yang kuat akan mengalahkan tim yang lemah, tapi tim yang lemah juga bukan tanpa kesempatan.

Seiring waktu, status tim kuat dan tim lemah dapat berganti dan bertukar. Dan di situ lah seninya; bagaimana tim kuat bisa mempertahankan kekuatannya; bagaimana tim yang terpuruk bisa kembali bangkit; bagaimana tim amatir bisa berkembang menjadi klub profesional kasta tertinggi dan meraih trofi.

Dinamika inilah yang coba dihentikan oleh pemilik-pemilik klub founder ESL. Mereka tidak ingin ada Leicester-leicester dan Atalanta-atalanta baru. Mereka tidak ingin menjadi Schalke. Mereka tidak mau menjadi Nottingham Forest---mantan juara Eropa yang sekarang terjerat di kasta kedua Liga Inggris.

Namun alih-alih mengelola klub agar tetap berada di level tertinggi, mereka mengambil jalan pintas dengan membentuk kompetisi eksklusif. Mereka membekukan roda yang berputar agar mereka selalu berada di atas.

Pertanyaannya, kalau roda itu sudah tidak bisa berputar lagi, untuk apa klub-klub kecil bertanding? Kalau status klub elit Eropa didefinisikan sebagai 12 klub itu dan tidak bisa diganti, untuk apa klub-klub lain menanggung kekalahan?

Membunuh Klub-klub Kecil dan Akar Rumput

Dengan semakin tertutupnya kesempatan klub-klub kecil untuk berkembang, kesenjangan antara klub elit dan klub kecil akan semakin lebar. Perlu diketahui, salah satu pemasukan utama suatu klub sepakbola adalah dari hak siar.

Pertandingan yang melibatkan klub elit tentu akan mengundang lebih banyak penonton, dan pendapatan dari hak siar pun menjadi lebih besar. Itulah yang menjadi target klub-klub founder ESL.

Membuat kompetisi yang memaksimalkan jumlah pertandingan, menampilkan Big Match setiap pekan, tidak mengundang klub-klub 'penggembira' yang hanya mengurangi rating pertandingan.

Pendapatan dari hak siar memang sebesar itu; bahkan klub-klub yang gugur di babak 16 besar Liga Champions mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi daripada klub yang menjuarai Liga Europa karena pendapatan hak siar. Nilai hak siar di ESL dikabarkan lebih dari dua kali lipat Liga Champions.

Dengan adanya ESL, klub-klub elit akan mendapatkan suntikan dana yang sangat besar setiap tahunnya. Dengan dana tersebut, mereka dapat membeli pemain dan pelatih terbaik, membentuk tim yang kuat di musim selanjutnya, menghasilkan lebih banyak lagi uang, dan seterusnya.

Menyisakan sangat sedikit kesempatan dan sumber daya bagi klub-klub lain. Kondisi di atas sebenarnya sudah terjadi selama ini, tapi skalanya akan bertambah berkali-kali lipat dengan adanya ESL.

Pendapatan klub-klub kecil akan semakin menurun karena menjadi lebih jarang bertemu klub besar, apalagi jika klub-klub tersebut memutuskan minggat dari liga domestiknya masing-masing. Kalau tidak pun, perhatian orang-orang akan terfokus ke ESL. Untuk apa menonton pertandingan Atletico vs Eibar di La Liga kalau di minggu yang sama ada pertandingan Real Madrid vs Tottenham di ESL?

Ditambah lagi, klub-klub elit tidak akan menurunkan skuad utama di liga domestik. Nilai hak siar liga akan semakin menurun.

Sirkulasi uang di sepakbola akan terkonsentrasi pada klub-klub elit. Sponsor-sponsor besar semakin tidak mau melirik klub-klub kecil. Pendapatan klub-klub kecil akan semakin sedikit. Mereka akan terpaksa menjual pemain-pemain bintangnya ke klub elit. Kekuatan klub akan semakin lemah, sponsor-sponsor akan semakin berkurang, pendapatan semakin menipis.

Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Yang kuat makin kuat, yang lemah makin lemah.

Dan ini dapat berefek ke klub kasta-kasta di bawahnya. Klub-klub kasta rendah dan klub-klub amatir yang sudah susah payah bertahan di kondisi pandemi ini akan semakin sengsara. Ironisnya, bangkrutnya klub-klub di dasar piramida akan berefek ke klub kasta-kasta di atasnya, dan akhirnya kembali ke klub-klub elit yang angkuh di pucuk sana. Memangnya mereka pikir pasokan pemain-pemain dan pelatih-pelatih mereka selama ini berasal dari mana?

Memang, klub-klub elit ini juga mengalami kerugian besar akibat pandemi. Tapi, ESL adalah langkah sinis untuk menyelamatkan diri sendiri dan membuat klub-klub lain sengsara. Mereka mengambil sekoci hanya untuk mereka sendiri dan membiarkan yang lain tenggelam.

---------

Pada akhirnya, pembentukan ESL hanyalah tentang mendapatkan lebih banyak uang, dan klub-klub founder tidak berusaha menutupi kenyataan itu. Sekilas, ini memang seperti sebuah turnamen impian, terutama untuk kita penonton layar kaca.

Masih banyak dampak negatif jika ESL ini benar diadakan. Fans lokal yang mendukung klub tersebut sejak entah berapa generasi, akan merasa dikhianati karena mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendukung klubnya---tiket yang akan lebih mahal dan jarak yang lebih jauh, sementara pertandingan liga domestik akan lebih tidak menarik karena bukan prioritas.

Pemain di klub-klub elit tersebut akan dieksploitasi habis-habisan, bermain dua atau tiga kali seminggu, meningkatkan resiko cedera yang dapat merusak masa depannya.

Sementara itu pemain di klub lain akan sulit untuk muncul ke permukaan---semakin sedikit pertandingan melawan klub besar yang dapat menjadi ajang untuk unjuk gigi. Perbedaan gaji pemain di klub-klub elit dan klub lainnya pun akan semakin besar.

Format kompetisi Eropa saat ini memang belum sempurna. Masih banyak hal yang bisa diperbaiki dan ditingkatkan. Tapi yang jelas, ESL bukanlah jawabannya. ESL hanyalah sarana 12 orang pemilik klub yang sudah sangat kaya raya untuk semakin memperkaya dirinya. ESL adalah kompetisi yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengerti sepakbola Eropa dan olahraga secara umum, tapi berdalih membuat kompetisi ini untuk fans. ESL akan menghancurkan sepakbola yang kita kenal selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun