Indonesia adalah negara dengan potensi energi terbarukan (EBT) terbesar ke-6 di dunia, mencapai 3.686 GW. Ironisnya, hingga 2023, pemanfaatannya baru 0,4% (13,56 GW). Padahal, pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 31% pada 2030 melalui komitmen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC). Sayangnya, upaya transisi energi ini terhambat oleh kesenjangan investasi dan lemahnya implementasi instrumen finansial hijau, terutama obligasi hijau (green bonds). Lantas, bagaimana strategi mengoptimalkan obligasi hijau sebagai tulang punggung pendanaan transisi energi?
- Gap Transisi EnergiÂ
Komitmen Indonesia dalam dokumen Enhanced NDC 2022 terlihat cukup ambisius dimana target-nya sebesar 31% bauran EBT pada 2030. Namun, realisasinya justru menunjukkan ketimpangan dimana baru mencapai 13,1% di tahun 2023. Beban yang muncul akibat transisi energi menjadi hal yang tidak terhindarkan sehingga membutuhkan investasi dengan komitmen yang kuat dari seluruh elemen baik dari pemerintah, investor, dan masyarakat.
Ironisnya, investasi sebagai faktor dalam mendorong untuk sektor EBT pun terhambat dimana proyeksi kebutuhan investasi transisi energi hingga 2025 mencapai USD 14 miliar, tetapi realisasinya hanya USD 2 miliar per tahun.
- Potensi EBT Indonesia Underated?
Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat melimpah karena kondisi alami lingkungan membuat negara kita memiliki keunggulan komparatif dalam hal energi hijau. Pada tahun 2023, Indonesia telah memanfaatkan potensi EBT sebesar 13,56 GW atau baru sebesar 0,4% dari potensi keseluruhan. Cukup sedikit dibanding ekspektasi yang ada, bukan?
- Green Bond sebagai Salah Satu Solusi Pembiayaan
Adanya gap investasi EBT menunjukkan bahwa Indonesia perlu memanfaatkan secara optimal instrumen investasi seperti Green Bond. Â instrumen finansial seperti obligasi hijau (green bonds) seharusnya bisa menjadi solusi. Sayangnya, hanya 2,1% obligasi di Indonesia yang berlabel hijau, sementara negara seperti Norwegia dan Jepang telah menggunakan alat ini untuk mendanai proyek energi angin dan hidro secara masif. Jika potensi ini terus diabaikan, target 2030 bukan hanya akan meleset, tetapi juga membuktikan bahwa komitmen iklim Indonesia masih sekadar retorika.
- Regulasi menjadi Penyebab Green Bond Belum Optimal?Â
Lambatnya realisasi investasi EBT tidak lepas dari regulasi yang tidak komprehensif. Meski UU No.4/2023 tentang Penguatan Sektor Keuangan telah disahkan, aturan turunan terkait Taksonomi Hijau (pedoman klasifikasi proyek ramah lingkungan) belum diterbitkan. Akibatnya, kriteria proyek hijau tidak terstandarisasi dimana memicu kebingungan di kalangan emiten dan investor. Survei Asian Development Bank (2022) mengungkap, 61% pelaku pasar tertarik dengan obligasi hijau, tetapi 40% mengaku tidak memahami prosedurnya.
Di sisi lain, Norwegia sukses memanfaatkan lembaga keuangan Kommunalbanken (KBN) untuk menyalurkan pinjaman berbunga rendah bagi proyek hijau, sementara Perancis memiliki Agence France Locale (AFL) yang memberikan subsidi khusus. Hal ini menunjukkan bahwa dengan regulasi yang tepat dapat mencapai kondisi ideal dalam menarik investasi dikarenakan iklim investasi nya didukung penuh oleh pemerintah. Tanpa dukungan regulasi dan lembaga serupa, Indonesia hanya akan terus tertinggal.
Selain regulasi, rendahnya literasi menjadi penghambat utama. Survei ADB menunjukkan 67% underwriter (penjamin emisi) mengaku sumber daya manusia mereka belum siap mengelola obligasi hijau, sementara 23% emiten kesulitan memahami kriteria proyek hijau. Minimnya edukasi ini diperparah oleh ketiadaan panduan teknis yang mudah diakses. Sebagai perbandingan, Jepang telah menerbitkan panduan obligasi hijau yang bisa diunduh hingga level pemerintah daerah, dilengkapi contoh kasus dan alur prosedur. Di Indonesia, sosialisasi masih terpusat di Jakarta dan bersifat eksklusif bagi pelaku pasar modal besar. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah dan UMKM yang justru memegang peran vital dalam proyek EBT akan tertinggal secara informasi. Jika kondisi ini tidak diubah, obligasi hijau hanya akan menjadi "mainan" korporasi besar, bukan menjadi solusi inklusif.
- Bagaimana Solusi atau Strategi yang Tepat?
Untuk mengejar ketertinggalan, komitmen yang feasible dan agresif perlu direncanakan secara matang. Penulis menginisiasi beberapa rekomendasi kebijakan yang dilakukan. Pertama, penerbitan peraturan turunan UU No.4/2023 harus diprioritaskan pada 2024 guna memastikan Taksonomi Hijau memiliki kekuatan hukum. Kedua, kampanye edukasi masif melalui media sosial dan workshop kolaboratif dengan pemerintah daerah wajib digencarkan. Misalnya dengan melibatkan influencer finansial atau membuat konten video pendek yang menjelaskan prosedur obligasi hijau secara sederhana. Untuk jangka menengah (2026-2029), pembentukan lembaga pendanaan hijau mandiri seperti Green Finance Institute dapat menjadi solusi. Lembaga ini bisa berfungsi sebagai penghubung antara investor, emiten, dan pemerintah, sekaligus menyediakan platform digital transparan untuk memantau alokasi dana. Langkah ini telah sukses di Uni Eropa melalui Green Bond Transparency Platform, yang meningkatkan kepercayaan publik terhadap proyek hijau.
Transisi energi bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran aktif swasta dan masyarakat. Akhir kata, menurut penulis Indonesia harus belajar dari kegagalan NDC 2020 dan menjadikan 2030 untuk break the momentum. Pertanyaannya: akankah kita terus membiarkan proyek hijau terkubur oleh birokrasi hari ini dan ketidaktahuan-nya ataukah harus merasakan dampak-nya terlebih dahulu baru menyesal kemudian?
Referensi:
Asian Development Bank. (2022). Green Infrastructure Investment Opportunities: Indonesia-Green Recovery 2022 Report.
Asian Development Bank. (2022). Green Bond Market Survey for Indonesia Insights on The Perspectives Of Institutional Investors
And Underwriters Green Bond Market Survey For Indonesia. www.adb.org
Climate Bond Iniative. (2018). Nordic And Baltic Public Sector Green Bonds.
Ditjen EBTKE. (2023). Laporan Kinerja Ditjen Ebtke 2023.
Energy Institute. (2024). Statistical Review of World Energy 2024.
Ery, M., Albertus, W., Siagian, P., Muhammad, B., Alke, M., Haesra, R., Woodall, A., Janicki, J., & Moi, A. (2021). Accelerating
Renewable Energy Finance in Indonesia: The Potential of Municipal Green Bonds.
European Commision. Eu Taxonomy for Sustainable Activities. Retrieved November 19, 2024, From
Finance.Ec.Europa.Eu/Sustainable-Finance/Tools-And-Standards/Eu-Taxonomy-Sustainable-Activities_En
International Renewable Energy Agency. (2022). Indonesia Energy Transition Outlook. www.lrena.org
Kementerian ESDM. (2023). Handbook Of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2023.
Ministry Of Environment of Japan. Green Bond and Sustainability-Linked Bond Guidelines.
Prisandy, R. F., & Widyaningrum, W. (2022). Green Bond in Indonesia: The Challenges and Opportunities. In Indonesia
Post-Pandemic Outlook: Rethinking Health and Economics Post-Covid-19. Penerbit Brin. Https://doi.org/10.55981/Brin.537.C529
Renewable Energy Agency. (2024). Renewable Energy Statistics 2024. www.lrena.org
Republik Indonesia. (2022). Enhanced Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI