Mohon tunggu...
MUHAMAD NAUFAL RAMADHAN
MUHAMAD NAUFAL RAMADHAN Mohon Tunggu... Mahasiswa/Ilmu Ekonomi/Universitas Brawijaya

Saya anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir di kota kecil yaitu Kabupaten Lamongan. Saya seorang mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap pengembangan blockchain khususnya smart contract.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Bagaimana Kondisi Regulasi Investasi Transisi Energi di Indonesia?

27 April 2025   00:20 Diperbarui: 27 April 2025   08:12 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara dengan potensi energi terbarukan (EBT) terbesar ke-6 di dunia, mencapai 3.686 GW. Ironisnya, hingga 2023, pemanfaatannya baru 0,4% (13,56 GW). Padahal, pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 31% pada 2030 melalui komitmen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC). Sayangnya, upaya transisi energi ini terhambat oleh kesenjangan investasi dan lemahnya implementasi instrumen finansial hijau, terutama obligasi hijau (green bonds). Lantas, bagaimana strategi mengoptimalkan obligasi hijau sebagai tulang punggung pendanaan transisi energi?
- Gap Transisi Energi 

Komitmen Indonesia dalam dokumen Enhanced NDC 2022 terlihat cukup ambisius dimana target-nya sebesar 31% bauran EBT pada 2030. Namun, realisasinya justru menunjukkan ketimpangan dimana baru mencapai 13,1% di tahun 2023. Beban yang muncul akibat transisi energi menjadi hal yang tidak terhindarkan sehingga membutuhkan investasi dengan komitmen yang kuat dari seluruh elemen baik dari pemerintah, investor, dan masyarakat.

Ironisnya, investasi sebagai faktor dalam mendorong untuk sektor EBT pun terhambat dimana proyeksi kebutuhan investasi transisi energi hingga 2025 mencapai USD 14 miliar, tetapi realisasinya hanya USD 2 miliar per tahun.


- Potensi EBT Indonesia Underated?

Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat melimpah karena kondisi alami lingkungan membuat negara kita memiliki keunggulan komparatif dalam hal energi hijau. Pada tahun 2023, Indonesia telah memanfaatkan potensi EBT sebesar 13,56 GW atau baru sebesar 0,4% dari potensi keseluruhan. Cukup sedikit dibanding ekspektasi yang ada, bukan?

- Green Bond sebagai Salah Satu Solusi Pembiayaan

Adanya gap investasi EBT menunjukkan bahwa Indonesia perlu memanfaatkan secara optimal instrumen investasi seperti Green Bond.  instrumen finansial seperti obligasi hijau (green bonds) seharusnya bisa menjadi solusi. Sayangnya, hanya 2,1% obligasi di Indonesia yang berlabel hijau, sementara negara seperti Norwegia dan Jepang telah menggunakan alat ini untuk mendanai proyek energi angin dan hidro secara masif. Jika potensi ini terus diabaikan, target 2030 bukan hanya akan meleset, tetapi juga membuktikan bahwa komitmen iklim Indonesia masih sekadar retorika.

- Regulasi menjadi Penyebab Green Bond Belum Optimal? 

Lambatnya realisasi investasi EBT tidak lepas dari regulasi yang tidak komprehensif. Meski UU No.4/2023 tentang Penguatan Sektor Keuangan telah disahkan, aturan turunan terkait Taksonomi Hijau (pedoman klasifikasi proyek ramah lingkungan) belum diterbitkan. Akibatnya, kriteria proyek hijau tidak terstandarisasi dimana memicu kebingungan di kalangan emiten dan investor. Survei Asian Development Bank (2022) mengungkap, 61% pelaku pasar tertarik dengan obligasi hijau, tetapi 40% mengaku tidak memahami prosedurnya.

Di sisi lain, Norwegia sukses memanfaatkan lembaga keuangan Kommunalbanken (KBN) untuk menyalurkan pinjaman berbunga rendah bagi proyek hijau, sementara Perancis memiliki Agence France Locale (AFL) yang memberikan subsidi khusus. Hal ini menunjukkan bahwa dengan regulasi yang tepat dapat mencapai kondisi ideal dalam menarik investasi dikarenakan iklim investasi nya didukung penuh oleh pemerintah. Tanpa dukungan regulasi dan lembaga serupa, Indonesia hanya akan terus tertinggal.

Selain regulasi, rendahnya literasi menjadi penghambat utama. Survei ADB menunjukkan 67% underwriter (penjamin emisi) mengaku sumber daya manusia mereka belum siap mengelola obligasi hijau, sementara 23% emiten kesulitan memahami kriteria proyek hijau. Minimnya edukasi ini diperparah oleh ketiadaan panduan teknis yang mudah diakses. Sebagai perbandingan, Jepang telah menerbitkan panduan obligasi hijau yang bisa diunduh hingga level pemerintah daerah, dilengkapi contoh kasus dan alur prosedur. Di Indonesia, sosialisasi masih terpusat di Jakarta dan bersifat eksklusif bagi pelaku pasar modal besar. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah dan UMKM yang justru memegang peran vital dalam proyek EBT akan tertinggal secara informasi. Jika kondisi ini tidak diubah, obligasi hijau hanya akan menjadi "mainan" korporasi besar, bukan menjadi solusi inklusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun