Sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara yang bertransisi dari sistem otoriter ke demokrasi sering kali menghadapi tantangan dalam menjaga supremasi sipil atas militer. Jika Indonesia tidak berhati-hati dalam mengelola kebijakan ini, maka kredibilitasnya sebagai negara demokrasi dapat dipertanyakan di mata dunia. Demokrasi yang kuat tidak hanya ditandai oleh pemilu yang adil, tetapi juga oleh kebebasan sipil, supremasi hukum, serta akuntabilitas pemerintahan.
Kesimpulan
RUU TNI yang baru bukan sekadar revisi hukum teknis, tetapi memiliki dampak besar terhadap masa depan hubungan sipil-militer di Indonesia. Perluasan kewenangan TNI dalam keamanan siber memang dapat menjadi langkah strategis dalam menghadapi ancaman digital, tetapi harus tetap berada dalam koridor supremasi sipil agar tidak disalahgunakan. Begitu pula dengan peningkatan peran TNI dalam jabatan sipil, yang perlu dikaji lebih mendalam agar tidak menghambat profesionalisme birokrasi.
Pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini serta memastikan bahwa prinsip demokrasi tetap menjadi pijakan utama. Jika revisi ini disahkan tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, Indonesia berisiko menghadapi kemunduran dalam proses reformasi demokrasi yang telah berjalan. Oleh karena itu, partisipasi publik dalam pembahasan kebijakan ini sangat penting agar keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.
Sebagai negara yang terus berupaya memperkuat sistem demokrasi, Indonesia harus tetap waspada terhadap kebijakan yang berpotensi mengikis supremasi sipil. Jangan sampai revisi yang dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan negara justru menjadi langkah mundur bagi demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI