Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal Maulana
Muhamad Iqbal Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jakarta Selatan.

Jangan berhenti ketika lelah, namun berhentilah ketika sudah berakhir.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ashalatul Wujud sebagai Jawaban atas Ashalatul Mahiyah Perihal Kemendasaran dari Suatu Entitas

11 Juni 2019   08:21 Diperbarui: 11 Juni 2019   08:23 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ada dua kelompok besar dalam memandang dan memahami suatu entitas yang berada di alam eksternal (fil kharij). Perbedaan ini terjadi begitu lama dalam meyakini perihal yang menyebabkan entitas tersebut dapat dipahami.  Kelompok pertama meyakini bahwa yang mendasar itu adalah mahiyah atau keapaan dari sesuatu, karena ia yang mmberikan efek terhadap suatu wujud sehingga entitas tersebut dapat diketahui dan dipahami, adapun wujud menurut kelompok ini adalah sesuatu yang bersifat reseptikal atau konseptual belaka. 

Sedangkan kelompok kedua meyakini bahwa yang mendasar dari entitas tersebut adalah wujud sehingga keberadaan entitas tersebut dapat dikenali dan dipahami, dan mahiyah diyakini sebagai sesuatu yang bersifat reseptikal atau hanya konseptual belaka. Kelompok pertama adalah kelompok yang dikenali sebagai penganut ashalatul wujud (kemendasaran wujud), dan kelompok kedua adalah penganut ashalatul mahiyah (kemendasaran wujud). Maka dari itu dalam tulisan ini penulis akan membahas perihal perdebatan ini untuk lebih mengetahui jawaban yang sebenarnya.

Dalam melihat dan memahami suatu entitas di alam eksternal (fil kharij), akal ketika mengabstraksi entitas tersebut akan mendapati dua instrumen yang berbeda. Kedua instrumen tersebut secara langsung di dalam mental berdiri sendiri, dan terpisah. Namun, faktanya, di alam eksternal, kedua instrumen tersebut tidak terpahami secara berdiri sendiri dan terpisah, melainkan keduanya menyatu dalam satu kesatuan entitas di alam eksternal tersebut.

Kedua instrumen tersebut adalah wujud yang dipahami sebagai suatu keberadaan dari entitas tersebut,  dan mahiyah sebagai keapaan dari entitas tersebut. Lalu kedua instrumen itu di mana, apakah entitas di alam eksternal tersebut adalah salah satu mishdaq dari kedua instrumen yang ada di alam mental tersebut, atau justru entitas tersebut merupakan kedua dari entitas yang ada di alam mental. Hal fundamen yang menyebabkan entitas tersebut diketahui adalah wujud atau mahiyah

Nah, perihal tersebut, ada du kelompok yang saling berbeda pendapat dalam menjawab permasalahan tersebut. Kelompok pertama meyakini bahwa entitas tersebut tidak lain yang menyebabkan entitas tersebut diketahui adalah ke-apa-annya (mahiyah), karena dengan keapaan itu suatu keberadaan dari entitas tersebut dapat diketahui dan dikenali, adapun wujudnya merupakan hal yan bersifat konseptual (i'tibari). Kelompok ini dikenal sebagai penganut ashalatul mahiyah wa i'tibariyah al-wujud.
Berbeda dengan yang sebelumnya, kelompok kedua meyakini bahwa hal fundamen yang memberi efek sehingga entitas tersebut dapat diketahui dan diketahui adalah wujud, sedangkan mahiyah atau keapaan dari entitas tersebut hanyalah bersifat konseptual. Kelompok ini dikenal sebagai penganut ashalatul wujud wa i'tibariyah al-mahiyah.
Untuk mengetahui dan mengenal lebih jauh lagi perihal pembahasan ini, maka dalam tulisan ini, penulis mengangkat kembali pembahasan ini. Makalah ini tidak lain adalah untuk lebih mengetahui jawaban yang lebih jelas dalam menjawab permasalahan ini.

Ashalatul Mahiyah wa I'tibariyah al-Wujud

Untuk mengetahui lebih jauh pandangan Ashalatul Mahiyah ada baiknya seseorang mengetahui dulu istilah dari kalimat tersebut. Ashalah berakar dari kata ashal dari bahasa Arab yang dapat diartikan asal, pangkal, dasar. Sama seperti apa yang dikatakan oleh Muhsi Labib bahwa ashalah dimaknai sebagai keaslian, keasalan atau kepokokan. 

Dari hal itu dapat dipahami bahwa ashalah merupakan posisi sesuatu yang fundamental. Berdasarkan makna tersebut, maka ashalah dipahami sebagai kemendasaran dari sesuatu. Sedangkan i'tibari diartikan dengan majazi. Ia dipahami sebagai sesuatu yang bersifat konseptual. Muhsin Labib memahami i'tibari adalah tak mendasar. Maka dapat dipahami bahwa ia adalah sebagai lawan dari ashalah.

Adapun mahiyah berasal dari bahasa Arab yang diartikan dengan ke-apa-an; seperti konsep ke-manusia-an, ke-batu-an, ke-kuda-an, dan lain-lain, yang mana semua itu merupakan serangkaian konsep mahiyah yang menjelaskan ke-apa-an dari benda-benda di alam ini. Adapaun wujud sebagaimana yang diketahui bahwa ia diartikan sebagai "ada".  Ia bersifat badihi sehingga tidak perlu didefinisikan dan tidak butuh definisi.

Berdasarkan apa yang penulis pahami bahwa penganut ashalatul mahiyah  dalam melihat suatu realitas eksternal ia memandang bahwa yang menjadi dasar atau yang memberi efek terhadap entitas eksternal itu hingga dapat diketahui adalah mahiyah, adapun wujud menurut mereka hanya bersifat konseptual belaka (i'tibar). Berikutnya, penulis akan memaparkan berbagai macam alasan sehingga kelompok ini dikenal sebagai penganut ashalatul mahiyah.

Pertama, alasan ini dipaparkan dalam karyanya Taqi Misbah bahwa boleh jadi mereka itu dianggap sebagai penganut kemendasaran mahiyah karena kesalahan mereka yang terlalu memasukkan bahasa keseharian atau kaidah bahasa ke dalam ranah filsafat, sedangkan ranah filsafat tidak melulu dapat dipahami dengan menggunakan kaidah bahasa, apalagi dalam pemahaman masyarakat awam itu jelas sulit dipahami.

Boleh jadi kelompok ini menyatakan bahwa wujud hanya bersifat konseptual karena berangkat dari kata wujud itu sendiri. Kata wujud merupakan ism mashdar dari kata wajada-yajidu-wujudan. Kata ini tidak bisa dijadikan sebagai sadaran dalam kondisi keseharian tidak berlaku dalam menjadikannya sebagai predikat, karena ia merupakan makna kopulatif. Seperti dicontohkan dengan kehadiran absensi seorang mahasiswa ketika diabsen oleh seorang dosennya, mahasiswa tersebut tidak menyatakan wujud untuk menjawab pertanyaan hadir atau tidaknya, melainkan kata yang digunakan adalah maujud. 

Hal itu sesuai dengan kaidah bahasa, karena maujud itu sendiri merupakan predikat atas subjek (mahasiswa), sehingga kata wujud itu tidak berlaku, dan ia hanya bersifat konseptual tidak bisa dijadikan sebagai sesuatu yang mmberi effek atau tidak bisa menjadi subjek sebagaimana yang dipahami penganut ashalatul wujud bahwa wujud merupakan subjek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun