Dahulu kala, di sebuah kampung kecil yang terletak di wilayah Kecamatan Jambe, Tangerang, hiduplah seorang pedagang sederhana bernama Mang Ujang. Ia dikenal sebagai penjual jahe yang ulet dan ramah. Setiap pagi buta, Mang Ujang akan berjalan kaki membawa karung-karung berisi jahe hasil kebunnya. Ia melintasi jalan kampung yang masih berupa tanah merah, menyusuri pematang sawah, dan menyeberangi sungai kecil dengan jembatan bambu rapuh untuk menuju Pasar Parung Panjang.
Meski lelah, Mang Ujang tak pernah mengeluh. Hasil jerih payahnya itu ia gunakan untuk menghidupi keluarganya. Sudah bertahun-tahun ia menjalani rutinitas yang sama, hingga suatu hari, sebuah peristiwa tak terduga mengubah segalanya.
Pagi itu langit mendung. Hujan turun sejak dini hari, membuat tanah becek dan licin. Namun Mang Ujang tetap bersikeras pergi ke pasar, membawa jahe segar seperti biasa. Ketika ia sampai di jembatan bambu yang menyeberangi sungai kecil, langkahnya terpeleset akibat licinnya bambu yang basah.
"Aduh!" teriak Mang Ujang saat tubuhnya terjatuh, dan karung-karung jahenya pun ikut terlepas dan jatuh ke sungai.
Arus sungai yang deras membawa jahe-jahe itu hanyut, mengalir melewati kampung-kampung, hingga akhirnya berkumpul di sebuah kampung sebelah. Warga kampung itu pun keheranan melihat banyak jahe terbawa air sungai. Mereka saling bertanya dari mana asal jahe-jahe tersebut.
Beberapa warga akhirnya tahu dari kabar yang tersebar bahwa jahe-jahe itu milik Mang Ujang, sang pedagang yang tergelincir saat menuju pasar. Karena peristiwa itu begitu membekas dalam ingatan warga dan menjadi cerita turun-temurun, maka kampung tempat jahe-jahe itu terkumpul pun akhirnya disebut Parung Jahe.
"Parung" berasal dari kata parit atau aliran air, dan "Jahe" adalah benda yang ditemukan di sana. Maka, Parung Jahe berarti "aliran air tempat ditemukannya jahe".
Disusun Oleh:
Evril Defliani
Muhamad Ilham Mukti
Rininta