Mohon tunggu...
Muhamad Daerobi
Muhamad Daerobi Mohon Tunggu... Administrasi - Ga Neko-neko, sederhana saja, mencoba jadi pembaca yg cinta kesederhanaan

Ubi Liberte Ubi Patria diskursusidea.blogspot.com "Seorang Pecinta Kesederhanaan"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perjalanan “Keadilan Perempuan” di Hari Kartini

21 April 2016   01:49 Diperbarui: 21 April 2016   03:20 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbedaan kesempatan kerja tersebut berdampak pada partisipasi tenaga kerja yang tercermin dari angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Pada tahun 2014 angka TPAK perempuan hanya sekitar 50 persen, sedangkan TPAK laki-laki sudah mencapai sekitar 80 persen. Angka TPAK ini menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Terlihat bahwa persentase perempuan yang bekerja masih jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2014, proporsi perempuan yang bekerja sebesar 47,08 persen sedangkan proporsi laki-laki mencapai 78,27 persen. Lihat di bawah ini:

 [caption caption="Data BPS, Indeks Pembangunan Gender 2014 - Hal. 31"]

[/caption]

Rendahnya TPAK perempuan dapat dilihat pada kegiatan seminggu yang lalu yang sekaligus menunjukkan adanya stigma pembagian peran laki-laki adalah bekerja dan perempuan adalah mengurus rumah tangga. Pada 2014 diperoleh bahwa selain bekerja, kegiatan lain yang dilakukan perempuan seminggu yang lalu adalah mengurus rumah tangga dengan proporsi hampir 38 persen. 

Sementara laki-laki yang mengurus rumah tangga hanya sebesar 2 persen. Angka ini yang seolah menjadi pertanda bahwa ketidakadilan perempuan memang masih berjalan hingga kini dan itu seolah terlegitimasi di wilayah warisan budaya (culture heritage) kita. Upaya dekonstruksi menjadi titik poin bagamana seharusnya perempuan mendapat keadilan secara subtantif.

Bagaimana dengan kondisi Perempuan dalam Sub Hukum?

Perjalanan panjang akan perjuangan kesetaraan tidak hanya berakhir pada masa Kartini saja, tetapi hingga saat ini ketidakadilan terhadap akses, manfaat, partisipasi dan kotrol terhadap perempuan masih saja tetap diberlakukan. Contoh kecil ketidak adilan gender bisa dilihat dari peraturan Bupati Purwakarta No. 69 Tahun 2015 Tentang Pendidikan Berkarakter, dimana tertuang secara jelas yaitu:

 [caption caption="Peraturan Bupati Purwakarta No. 69 Tahun 2015 Tentang Pendidikan Berkarakter"]

[/caption]

Upaya maskulinisasi dan femininimisasi dalam pasal 26 tersebut menjadi jelas bahwa perempuan dan laki-laki diperlakukan secara berbeda. Bupati Purwakarta memahami eksisten “karakter” seperti sesuatu yang harus ditentukan berdasarkan jenis kelamin, bahwa anak laki-laki harus bisa menanam, meramu, bergembala (hunter). Sebaliknya memiliki keterampilan memasak, menenun, menyulam,  harus dimiliki bagi perempuan (gatherer).

Hingga saat ini kebijakan hukum Indonesia seolah tidak berpihak pada perempuan, meskipun telah hadir sejumlah kebijakan ditingkat nasional Seperti UU No 7 tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (CEDAW), UU 23 tahun 2004 tentang PKDRT, UU 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan banyak lagi lainnya—seolah memutuskan harapan besar ketika Komnas Perempuan hingga september 2015 menemukan sejumlah 389 kebijakan diskriminatif, 322 diantaranya berdampak langsung pada kehidupan perempuan (138 kebijakan mengkriminalisasi perempuan, 30 kebijakan mengatur ruang dan relasi personal, 100 kebijakan tentang pemaksaan busana, 39 mengatur jam malam, 15 mengatur tentang pembatasan mobilitas perempuan), dan 54 diantaranya membatasi jaminan kebebasan hidup beragama warga negara. 

Aksi anarkhisme kelompok intoleran pada kelompok minoritas agama, menjadi terlegitimasi karena adanya kebijakan atas tindakan intoleransi tersebut. Bahkan pemaksaan menjalankan keyakinan kelompok tertentu, atau justru pelarangan atas keyakinan yang dianut sehingga terjadi pengusiran, berdampak pada ketidakpastian hukum, pemiskinan, dan konflik sosial. (Baca: Siaran Pers “Pemerintah Harus Tegas Merawat Kebhinnekaan Negara Bangsa”)

Pertanyaanya adalah apakah hanya cukup mengenang hari Kartini 21 April saja sudah cukup menggembirakan bahwa upaya keadilan perempuan bisa didapatkan? Apakah dihari ke-137 tahun lahirnya Kartini hingga kini menjadi pertanda bahwa keadilan dan kesetaraan gender sudah di dapat? Jawabannya jelas “tidak”. Kartini hanya sebatas Kartini, Kartini dulu melawan Hindia Belanda, Kartini dulu melawan domestifikasi keluarga dan adat agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun