CILEGON, 6 Oktober 2025- Menyaksikan langsung kondisi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS), kami menilai permintaan suntikan modal kerja sebesar US$500 juta (sekitar Rp8,34 triliun) adalah langkah yang kontradiktif secara finansial dan mungkin tidak bermoral.
Di tengah kondisi modal kerja perusahaan yang sudah negatif dan menuntut bantuan dana triliunan Rupiah, manajemen KRAS justru gagal membuktikan kemampuan mereka untuk mandiri. Tanpa perubahan drastis dalam operasional dan akuntabilitas manajemen, modal baru tersebut hanya akan menjadi debt servicing dan "bakar uang" (burn rate)Â yang membuang dana negara.
I. KRISIS FINANSIAL: KEGAGALAN SISTEMIK DALAM KONTROL BIAYA
Laporan keuangan Semester I-2025 KRAS menunjukkan masalah struktural yang tidak dapat ditutup-tutupi oleh sentimen nasionalisme. Kerugian yang terjadi bukan sekadar akibat pasar, melainkan kegagalan manajemen untuk mengendalikan biaya.
Dengan Rugi Bersih, US$107,1 Juta atau membengkak 66% dari tahun sebelumnya, ini menandakan kegagalan total dalam membalikkan kerugian, meski telah menjalani restrukturisasi utang.
Laba Bruto anjlok US$34,0 Juta atau 29,5% dari tahun sebelumnya, menkadi bukti bahwa manajemen kehilangan kontrol atas Beban Pokok Pendapaitan (HPP) margin tergerus habis di luar biaya produksi.
Rugi Operasional meningkat, Aktivitas inti perusahaan tidak mampu lagi menghasilkan keuntungan yang menutupi biaya usaha.
Fakta bahwa Laba Bruto anjlok hampir 30%, meskipun pendapatan naik menegaskan bahwa KRAS adalah perusahaan yang sakit secara operasional. Permintaan modal tanpa disertai janji efisiensi yang ketat adalah tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemegang saham dan rakyat.
II. KRISIS ETIKA: ANCAMAN PHK DI TENGAH KEMEWahan
Krisis keuangan diperparah oleh krisis kepemimpinan moral. Pernyataan Direksi mengenai ancaman PHK di sektor baja merupakan paradoks yang absurd ketika manajemen disinyalir masih menikmati tunjangan, fasilitas, dan biaya operasional yang sangat besar.