CILEGON -- Pernyataan manajemen PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) terkait kembali beroperasinya pabrik Hot Strip Mill 1 (HSM#1) sejak Desember 2024 dinilai tidak sejalan dengan kondisi keuangan perusahaan yang justru memburuk di kuartal I tahun 2025.
Muhamad Agung Laksono, warga Cilegon sekaligus mantan pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menyampaikan kritik tajam atas ketidaksesuaian antara narasi optimisme manajemen dengan realita angka yang tercantum dalam laporan keuangan perusahaan.
"Jika pabrik sebesar HSM#1 sudah beroperasi sejak akhir 2024, lalu mengapa tidak ada dampak nyata dalam laporan keuangan Q1 2025? Di mana produksi dan hasilnya?" ujarnya kepada media, Sabtu (17/5/2025).
Menurut laporan keuangan terbaru, Krakatau Steel mencatat rugi bersih sebesar USD 45,4 juta, naik tajam dari rugi USD 27,3 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Return on Equity (ROE) negatif 10,8%, Return on Assets (ROA) -1,6%, serta margin laba bersih yang anjlok ke -19,3% menandakan bahwa perusahaan belum menunjukkan pemulihan nyata.
Sementara itu, pendapatan hanya naik tipis 1,3%, dan laba kotor justru turun 35%.
"Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ini soal integritas manajemen dalam menyampaikan informasi kepada publik. Jika HSM#1 benar-benar sudah berjalan, seharusnya kita melihat peningkatan produksi baja, distribusi HRC, dan efisiensi biaya. Faktanya tidak ada," kata Agung.
Agung mengingatkan bahwa HSM#1 memiliki kapasitas 2 juta ton per tahun. Dengan asumsi pemanfaatan 60%, mestinya pabrik ini mampu memproduksi 300 ribu ton per kuartal. Jika harga jual HRC berkisar USD 650 per ton, potensi pendapatan bisa mencapai USD 195 juta hanya dari HSM#1. Namun itu tidak tampak dalam laporan Q1 2025.
"Yang muncul justru peningkatan beban keuangan, kerugian entitas asosiasi, dan lemahnya perputaran kas. Ini jelas menimbulkan pertanyaan, jangan-jangan operasional HSM#1 hanya simbolik, sekadar aktif di atas kertas, tapi tidak berjalan secara komersial," tegasnya.
Ia juga menyoroti pernyataan manajemen tentang penandatanganan Long Term Supply Agreement (LTSA) sebesar 1,25 juta ton baja. Menurutnya, LTSA tersebut seharusnya memberikan kontribusi terhadap pendapatan dan laba bila memang realisasi pengiriman dan produksi sudah berjalan.
Agung pun meminta manajemen Krakatau Steel untuk segera: