Mohon tunggu...
Muhamad Baiul Hak
Muhamad Baiul Hak Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mataram

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Gay Berani Unjuk Gigi?

3 September 2016   20:35 Diperbarui: 3 September 2016   20:54 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari www.merdeka.com


Masih hangat di ingatan kita tentang kasus pelecehan seksual hingga pencabulan seorang guru kepada muridnya, seorang kakek memperkosa anak kecil, hingga seorang bapak menghamili anak kandungnya. Muncul lagi kasus penjualan anak di bawah umur melalui media sosial kepada para penyuka sesama jenis. Kasus penangkapan pelaku dengan inisial AR menambah deretan panjang kasus yang erat kaitannya dengan “pemuasan hawa nafsu”. AR merupakan pelaku yang menampilkan foto remaja, lengkap dengan tarifnya di facebook. Adapun sasaran dari AR adalah mereka para gay. Kini AR masih menjalani pemeriksaan lebih lanjut oleh POLRI.

Kasus AR bisa jadi hanya permukaan saja dari banyaknya kasus yang belum terkuak. Mungkin analogi seperti “Gunung Es” layak kita sematkan untuk kasus prostitusi di Indonesia. Kita berharap kasus ‘gunung es’ ini tidak benar-benar menjadi nyata.

Terlebih dahulu saya ingin mengajak kita semua untuk mengupas akar dari masalah ini. Menurut hemat saya, akarnya adalah faktor keluarga dan lingkungan. Baik dari segi pelaku maupun korban, sebenarnya keluarga dan lingkungan sekitar bisa menjadi benteng yang sangat kuat untuk mencegah kasus seperti ini. Ada cerita yang menarik tentang seorang gay di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat.

***

Saya teringat satu momen ketika saya mengikuti satu pelatihan di BKKBN Propinsi Nusa Tenggara Barat. Salah satu materi yang dibahas adalah ‘orientasi seks’. Yang menarik adalah narasumber pada sesi itu seorang Gay. Beliau bercerita bahwa pernah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki.

Ceritanya beliau menikah karena tidak ingin menerima umpatan sebab belum menikah padahal usia sudah hampir kepala empat. Meskipun dari awal beliau sudah menyadari bahwa orientasi seksnya kepada sesama jenis, beliau mencoba membangun keluarga yang harmonis. Hal ini berlanjut cukup lama hingga belasan tahun sebelum beliau menemukan komunitas yang isinya adalah penyuka sesama jenis. Dan pada akhirnya beliau memutuskan untuk berpisah dengan istrinya demi memenuhi orientasi seksnya.

Di akhir sesi penyampaian materi, saya bertanya kepada beliau.

“Anda kan sekarang memiliki putra, apakah anda menginginkan anak anda mengikuti jejak bapaknya sebagai gay?”, Tanya saya.

“Tentu saya tidak akan membiarkan anak saya menjadi seperti saya. Saya akan mendidik anak saya sejak kecil supaya menjadi pria yang menyukai lawan jenisnya”, beliau merespon pertanyaan saya.

“Lantas kenapa anda tidak memulainya dari diri sendiri?” Tanya saya dengan nada agak ngotot.

“Begini dek, antara orientasi seks dengan kemauan hati kecil itu kadang berbenturan dan tidak pernah bertemu. Dukungan lingkungan sangat mempengaruhi apa yang menjadi keputusan seorang gay atau seorang lesbian. Di Lombok ini sebenarnya banyak gay yang sudah berkeluarga dan mereka malu untuk mengungkapkan atau memberitahu khalayak tentang orientasi seksnya. Sering kali para gay seperti ini memenuhi hasrat seksnya secara sembunyi. Saya banyak mengetahui gay yang seperti ini”, beliau mencoba menjelaskan realita yang ada.

***

Saya mencoba mencari benang merah kenapa seorang gay berani menampakkan diri ke permukaan. Apakah ini dampak dari kampanye LGBT harus diberikan ruang di Indonesia? Bisakah ini terjadi?

Iya sepakat. Memang terlalu prematur jika kita mengaitkan kasus AR dengan maraknya kampanye LGBT di Indonesia. Tetapi secara ekonomi, tidak mungkin akan ada penawaran tanpa ada permintaan. Permintaan akan muncul jika ada pangsa pasar. Pangsa pasar akan tumbuh jika ada sekumpulan manusia yang memiliki satu kebutuhan atau keinginan. Maka apa yang ‘dijajakan’ AR merupakan bentuk penawaran kepada mereka para penyuka sesama jenis sebagai konsumen utama.

Prostitusi Non-LGBT saja belum mampu kita atasi, muncul lagi kasus prostitusi LGBT. Lantas dari mana kita mulai untuk memberantas hal ini?

Seperti yang saya sebutkan di atas. Saya kira tindakan yang menyangkut hukum hanya bisa dilakukan oleh pihak yang berwenang. Kita hanya bisa sebagai pelapor atau pengawas di lingkungan sekitar kita. Tetapi lebih jauh, ada beberapa hal yang mungkin bisa mulai. Ada banyak peran yang bisa kita mainkan untuk mencegah seorang anak masuk menjadi bagian yang aktif dalam mengkampanyekan LGBT. Tetapi peran di keluarga menurut saya memegang peranan yang paling dominan.

Keluarga merupakan unit pertama tempat seorang anak akan tumbuh. Jika memang ada seorang anak terindikasi memiliki kelainan pada orientasi seksnya, maka sedini mungkin bisa dikonsultasikan kepada dokter atau yang memiliki kompetensi. Di keluarga juga penting untuk penanaman nilai-nilai agama yang baik sehingga seorang anak memiliki pegangan teguh dalam memutuskan untuk berbuat apa.

Kita mungkin tidak bisa menghentikan secara signifikan perilaku para gay atau kasus sejenisnya. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mendoakan mereka supaya kembali ke jalan yang benar. Adapun yang menjadi fokus kita adalah menghentikan tunas baru, yaitu memberikan perhatian lebih kepada seorang anak yang memiliki kecenderungan untuk menjadi seorang gay.

Muhamad Bai'ul Hak
Lombok, 3 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun