Diam-Diam Aku Pergi Demi Damai
Karya: Muhalbir
Langit sore itu tak begitu cerah, tapi juga tak terlalu gelap. Seperti perasaanku---menggantung di antara ingin bertahan atau benar-benar melepaskan. Di sudut taman kota, aku duduk di bangku panjang yang biasa kami datangi setiap Minggu sore. Tak ada tawa. Tak ada cerita. Hanya suara daun yang berjatuhan dan detak jantungku yang semakin berat.
"Kenapa ngajak ketemu di sini?" tanya Rey, kekasihku, yang baru saja duduk di sebelah.
Aku menoleh pelan, menatapnya. Masih sama seperti dulu. Wajahnya tenang, mata yang selalu hangat. Tapi kini, semua itu tidak lagi membuatku merasa utuh.
"Aku pengen kita bicara, bukan soal kemarin... tapi soal selama ini," kataku lirih.
Rey mengerutkan dahi. "Ada apa? Kamu terdengar aneh."
Aku menarik napas dalam. Mencoba meredam getar suaraku. "Rey... Aku udah lama ngerasain ini. Bukan hal baru. Aku cuma terlalu lama diam."
Dia menatapku lebih dalam. "Kamu marah? Karena aku kurang peka? Karena aku terlalu sibuk?"
Aku menggeleng. "Bukan. Ini bukan tentang salah atau benar. Ini tentang rasa yang nggak lagi bisa kita paksakan. Tentang kita yang terlalu sering diam, tapi berharap saling paham."
Rey menunduk. Jemarinya mengepal di atas lutut. "Jadi kamu nyerah?"
Aku menunduk juga. "Aku nggak nyerah, Rey. Aku cuma... selesai."