Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Persahabatan dan Makan Roti

22 November 2021   22:20 Diperbarui: 22 November 2021   22:35 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Umur semakin bertambah... Namun kelakuan tidak pernah berubah... Terlalu nyaman diri pada kondisi yang ada... Dan selalu hidup ingin di puji dan dipuja
Usia semakin berkurang... Namun tak pernah bertambah pemahaman dan pengetahuan... Karena merasa diri sudah tahu dan paham.. Dan apapun sudah dapat dengan mudah di lakukan.
Umur dan usia harusnya seimbang... Namun diri tak pernah memahami... Karena terbujuk rayu dengan kepuasan yang semu... Dan merasa bahagia dengan kondisi yang ada.
KAS, 22/11/2021, Umur dan Usia 

Sebuah ide tentang pemahaman arti pentingnya dari kata sahabat dan makan roti terpintas dari diri yang melihat seorang anak kecil yang menginginkannya.  Tangisan seorang anak yang demikian kerasnya memecah keheningan malam hanya karena ingin makan roti seperti yang dimakan temannya.  Namun ada dua kejadian yang dapat diambil dari perilaku anak tersebut: pertama adalah anak itu langsung melahap roti tanpa mengunyah dan kedua pada asupan kedua anak kecil itu memuntahkan roti yang dimakannya.

Perilaku anak tersebut adalah kejadian yang beruntung tanpa ada yang tahu dan ini bukan rangkaian mereka-reka makna tapi sekedar diri memaknai dan dihubungkan dengan arti hubungan persahabatan.  Karena peristiwa tersebut ada hubungan dengan sifat pertemanan antara dua anak yang ada.

Cerita ini dimulai dengan adanya dua anak yang bersahabat dan yang satunya sedang makan roti.  Melihat temannya makan roti maka yang satunya menangis dan meminta kepada temannya.  Memang di awal teman yang satu tidak memberikan rotinya namun setelah mendengar temannya nangis dengan kerasnya dia memberikan roti tersebut.

Keinginan si anak yang tidak memiliki roti itu agar dirinya dapat makan adalah dengan menggunakan strateginya yaitu dengan menangis dengan kerasnya.   Keinginan karena ketertarikan dan ingin makan roti atau tidak mau kalah dengan temannya adalah sebuah hal wajar dari diri manusia yang serba ingin tahu (sifat naluri).

Keinginan si anak yang di dasarkan atas naluri tersebut adalah merupakan basic interest yang dimiliki oleh setiap makhluk yang ada.  Maka proses pertumbuhan umur dan usia akan mengurangi dominasi nurani menjadi keseimbangan dengan nurani dan terakhir menemukan hati sebagai poros kerja keseimbangan antara naluri dan nurani.

Namun kelakuan anak kecil yang demikian ternyata tidak hanya terjadi pada dirinya melainkan juga pada diri manusia yang sudah remaja/dewasa/tua.  Dan bahkan logika berpikir yang bukan anak kecil lagi memainkan drama yang sama untuk memenuhi keinginan yang harus dipenuhi menggunakan strategi yang lebih  buruk dibandingkan hanya sekedar menangis atau berteriak sekeras-kerasnya.

Realita ini menjadikan diri untuk belajar instropeksi apakah umur (kita yang sudah melampaui anak kecil) masih berperilaku seperti ini.  Sebuah kerugian jika diri berperilaku seperti ini diakibatkan diri kurang memahami dan tidak mau berpikir karena merasa nyaman dengan kondisi yang ada. 

Anak dan keinginan

Kondisi anak yang hidup karena di dasarkan atas kekuatan atau naluri yang mendominasi pola atau logika berpikir manusia maka dalam berbuat didasarkan atas bagaimana dirinya bisa mewujudkan keinginannya.  Ketika diri memiliki keinginan yang kuat akibat dari naluri yang menguasai maka strategi yang dilakukan dengan menggunakan potensi dari fisik yang dimiliki.

Mengapa ini dilakukan?  karena si anak pun merasa ini bukanlah hal yang memalukan.  Menangis atau berbicara sekeras-kerasnya adalah hal yang wajar bagi anak kecil untuk mendapatkan hal yang diinginkan walaupun sebetulnya itu bukan miliknya.

Perilaku anak kecil yang seperti itu mungkin sudah merupakan strategi terakhir agar dirinya mampu mencapai keinginannya. Mungkin sebelumnya dirinya sudah melakukan segala upaya namun tidak pernah berhasil untuk mempengaruhi keyakinan anak yang memiliki roti tersebut.  Maka langkah berteriak sekeras-kerasnya adalah langkah untuk menundukkannya. 

Ketundukan diri anak kecil atas keinginan yang dimilikinya namun diri anak tidak memiliki roti tersebut adalah masalah awal yang terjadi pada dirinya.  Ketundukan yang didasarkan atas ego (sifat naluri) yang menguasai keingingannya harus terwujud maka logika dirinya akan melakukan hal-hal yang secara insting dilakukan oleh anak kecil dimulai dari meminta dan diakhiri dengan berteriak/menangis sekeras-kerasnya  karena hanya itu yang bisa dilakukan.

Namun ketika diri anak mampu mewujudkan keinginan dengan makan roti maka diri hanya sekedar makan dengan menikmati disaat pertama memakan roti dan selanjutnya kecewa karena tidak sesuai dengan impian (rasa roti).  Diri anak tidak pernah bisa menikmati roti yang merupakan rejekinya dan membuangnya seperti melakukan perbuatan yang mubazir.

Perbuatan mengorbankan teman yang sedang menikmati roti (kehidupan) atas rejeki yang diterima adalah hal yang wajar. Maka dalam anak kecil sahabat bisa jadi merupakan sarana diri untuk dapat memuaskan ketundukan diri atas ego yang mendominasinya.

Perilaku anak yang demikian tidak pernah dirinya menikmati kehidupan dan tidak pernah merasakan kepuasan atau kebahagian yang dijalaninya.   Karena pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki tidak pernah memberikan arah bagaimana diri bisa menikmati kehidupan di dunia ini.

Anak kecil dalam berteman

Peristiwa seperti ini  wajar jika dilakukan anak kecil, namun bagaimana jika ini diri kita (yang sudah dewasa/tua) melakukannya psti jwabannya adalah "memalukan".  Namun tidak sedikit diri kita menyadari bahwa perilaku kita seperti ini.

Hilangnya rasa malu tidak pernah terpikirkan karena diri sudah terbiasa melihat manusia lain melakukan hal yang seperti ini.  Ketika keinginan yang dimiliki kuat dan diri tidak merasa yakin bisa mewujudkannya maka langkah teriak-teriak adalah langkah yang baik bahkan bisa juga teriak-teriaknya adalah bentuk pembunuhan karakter teman atau sahabat.

Ketidaksadaran diri melakukan hal ini karena merasa hal ini adalah pengetahuan yang benar dan berterima umum.  Namun jika diri memiliki kesadaran maka tak ubahnya diri hanya dimakan usia atau umur namun logika diri masih setaraf anak balita.

Perilaku diri yang seperti balita ini diakibatkan diri tidak mampu memaksimalkan indra yang diberikan oleh sang Pencipta kepada setiap diri manusia (Indra manusia: Kepala, Rasa & Perut). Ketiga indra tersebut merupakan satu kesatuan yang mempengaruhi pola kikir diri manusia dengan poros penggerak hati/kolbu).  Kerja dari ketiga indra ini adalah keseimbangan bukan dominasi mana yang kuat.

Ketika terjadi dominasi  dari indra yang ada tersebut berarti diri kita adalah manusia yang kalah dalam berperang (perang terhadap diri sendiri).  Maka berakibat bahwa hidup kita akan tidak pernah mencapai titik keseimbangan kehidupan.  Hal ini berdampak hidup diri kita adalah hidup yang hanya memuja pada kebutuhan jasmani yang harus dikejar tanpa peduli dengan keseimbangan dengan diri kita, sahabat (manusia lain), dan alam semesta.

Tidak kaget ketika sekarang ini banyak orang yang berteman atau bersahabat hanya sekedar sarana untuk mewujudkan impian diri yang palsu.  Seperti anak kecil yang menginginkan roti dan ketika roti sudah didapat maka hanya sekali dua kali suap kemudian dibuang secara percuma.   Tidak sadar bahwa teriakannya untuk mendapatkan roti adalah perbuatan yang merugikan sahabatnya yang mungkin baru bisa makan dengan roti tersebut.

Berteman yang Baik

Perilaku tersebut muncul akibat dari ketidaksadaran dari sebuah ego diri yang mendominasi akibat kerja dari indra yang tidak atau belum sempurna.  Ketidaksadaran tersebut  mengakibatkan diri anak hidup dalam impian dan angan yang palsu sehingga mudah sekali muncul rasa keinginan akibat dari penyakit hati  (hati yang terselimuti) dan menimbulkan rasa cemburu serta keinginan untuk menang sendiri.   

Kecemburuan atau ketimpangan kehidupan terasa sekali bahkan perbedaan kasta kehidupan menjadikan jurang pemisah antara diri kita dengan yang lain.  Orientasi kehidupan yang demikian tidak hanya terjadi pada segi material saja bisa juga terjadi pada segi non material/spiritual jika diri tidak memiliki pengetahuan atau pemahaman tentang keseimbangan hidup.  

Umur dan usia yang kita miliki sekarang sudah bukan anak kecil lagi tetapi diri masih selalu memiliki logika berpikir anak kecil.    Maka tugas diri sekarang adalah meninggalkannya untuk menjadi manusia yang berpikir sesuai dengan umur atau usia.

Hidup di dunia ini adalah kehidupan untuk saling mengenal dan menghormati manusia lain.   Tugas ini dapat dilakukan jika diri mampu berpikir dengan cara berpikir orang dewasa bukan dengan logika berpikir anak-anak.  Ketika berpikir secara dewasa mampu kita peroleh maka diri akan menemukan cara berteman dengan baik.

Teman atau sahabat adalah partner diri kita dalam berkehidupan bukan sebagai anak tangga untuk memuaskan atau mencapai tingkatan ego yang tinggi.  Hal ini dapat kita lakukan jika diri mampu dan berusaha untuk terus belajar dengan baik dalam pengetahuan yang benar.

Buang pemahaman yang keliru tentang arti sahabat atau teman.  Ganti dengan pemahaman bahwa sahabat adalah partner dalam bermusyafir di kehidupan ini.  Jangan sakiti teman jika diri tak mau disakiti. Dan jangan meninggalkan sahabat jika pada posisi yang baru kekeringan, karena bantuan kita adalah bentuk kepanjangan tangan dari Sang Pencipta.

Jangan memandang remeh sahabat kita karena dirinya tidak pernah berhasil dalam pekerjaan karena mungkin itu adalah "ujian kehidupan" yang diberikan oleh Sang Pencipta.  Dapatnya diri mereka yang bisa mengelola hatinya akibat sering gagal dalam perjalanannya adalah mungkin kehebatan dirinya yang harus kita gali pemahaman yang dimilikinya. 

Tidak ada maksud yang tersembunyi dalam tulisan ini.   Hanya sekedar humor sufi tentang berteman yang baik.  Jika salah ini hanya sekedar humor saja.

Salam

KAS, 22/11/2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun