Beberapa tahun terakhir, isu air sering muncul di berita, dengan cerita yang berbeda hampir tiap musim: di satu daerah, warga kesulitan mendapatkan air bersih, sedangkan di tempat lain, banjir tiba-tiba membuat kota lumpuh. Pada awal 2024, Tempo melaporkan Bali mengalami banjir besar karena hujan deras, sementara di saat yang hampir bersamaan, Nusa Tenggara Timur mengalami kekeringan lama hingga masyarakat terpaksa mengandalkan distribusi air menggunakan tangki (Kompas, 2024). Fenomena ini mengajukan pertanyaan penting: mengapa negeri yang terkenal kaya air justru membuat jutaan warga kesulitan mendapatkan air yang layak?
Air adalah kehidupan. Lebih dari separuh tubuh manusia terdiri dari air. Petani bergantung pada irigasi, industri memerlukan pasokan stabil agar produksi tetap berjalan, dan pembangkit listrik tenaga air mengandalkan aliran sungai. Ekosistem juga sangat bergantung pada air: hutan, sungai, dan laut saling terhubung dalam satu siklus yang menjaga keseimbangan alam. Namun, air tidak hanya soal ada atau tidak. Ketersediaannya harus memenuhi tiga hal utama: jumlahnya cukup, kualitasnya layak, dan hadir tepat waktu. Sayangnya, ketiga hal ini semakin terancam karena perubahan iklim. Perubahan iklim membuat siklus air tidak menentu. Curah hujan tidak bisa diprediksi lagi, musim kemarau semakin lama, dan bencana terkait cuaca dan air datang lebih sering. Kita masih ingat banjir bandang yang menghantam Luwu, Sulawesi Selatan, pada 2021 dan menyebabkan ratusan rumah terendam (Detik, 2021).
Sebaliknya, setiap tahun desa-desa di Nusa Tenggara harus berjalan beberapa kilometer hanya untuk mengangkut air saat musim kemarau. Situasi yang sama terjadi di Sembalun, Lombok Timur, di mana perubahan iklim menyebabkan sumber air menghilang dan cuaca hujan sulit diprediksi. Akibatnya, para petani mengalami keberatan besar dalam berladang maupun mendapatkan air bersih (Wijayanti & Nursalim, 2023). Kini air menjadi korban ganda: di satu sisi pasokannya semakin tidak pasti karena cuaca ekstrem, sementara di sisi lain tindakan manusia justru memperburuk keadaan. Kerusakan lingkungan membuat kondisi semakin parah. Hutan yang sudah tidak terawat melemahkan kemampuan daerah penyerapan air. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi saluran pembuangan limbah rumah tangga dan industri.
Di kota-kota besar, penggunaan air tanah yang tidak terkontrol menyebabkan tanah miring. Akibatnya, banjir rob semakin sering terjadi di daerah pesisir. Semua hal ini menunjukkan bahwa krisis air tidak hanya terjadi karena faktor alam, tetapi juga akibat keputusan dan kebijakan manusia. Masalah menjadi lebih rumit karena pembangunan sering kali lebih memprioritaskan pembetonan kota daripada menjaga keseimbangan ekosistem air. Kebijakan hukum lingkungan terhadap penanggulangan krisi iklim di idnonesia sampai saat ini dilakukan bertahap, dibuktikan dengan keikutsertaan pemerintah dalam protokol kyoto, paris agreement, hingga bali roadmap, namun implementasinya masih belum menyeluruh (Wahyudin et al., 2020).
Ironi terbesar adalah fakta bahwa Indonesia sebenarnya tidak kekurangan air. Terdapat ribuan sungai yang mengalir dari barat ke timur, ditambah lagi dengan curah hujan yang cukup tinggi. Secara teori, sumber daya air ini sudah sangat memadai untuk mendukung kehidupan masyarakat. Namun kenyataannya justru berbeda: ketika musim hujan tiba, kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Medan sering banjir, sedangkan ketika musim kemarau, desa-desa di Jawa dan Nusa Tenggara justru mengalami kekeringan. Masalah utamanya adalah karena tata kelola air yang lemah. Tidak ada integrasi yang kuat antara daerah hulu dan hilir, sehingga banjir dan kekeringan selalu menjadi dua hal yang berulang setiap tahun. Sungai Citarum adalah contoh yang paling jelas. Sungai yang dulu menjadi penghidupan masyarakat di Jawa Barat itu pernah dianggap sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Situasi yang serupa juga terjadi pada Bengawan Solo dan Brantas, dua sungai besar yang seharusnya mampu menghidupi jutaan penduduk. Jika sumber utama air sudah tercemar, maka tidak heran jika masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih yang layak untuk dikonsumsi. Kondisi ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa kita sedang kehilangan salah satu aset vital bagi keberlanjutan bangsa. Selain itu, ketimpangan akses juga memperumit masalah ini. Di Jakarta, keluarga menengah bisa menikmati air melalui pipa dari PAM. Namun, warga miskin kota harus membeli air isi ulang dengan harga lebih mahal atau mengandalkan sumur dangkal yang kualitasnya tidak selalu terjamin. Di pesisir utara Jawa, intrusi air laut membuat air tanah menjadi asin dan tidak bisa dipakai lagi. Perlahan-lahan, air bersih beralih dari menjadi hak dasar menjadi suatu komoditas yang tidak semua orang mampu bayar. Ketidakadilan ini semakin terasa ketika kelompok yang paling rentan justru harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk mendapatkan kebutuhan dasar yang seharusnya dijamin oleh pemerintah.
Menghadapi krisis ini, pemerintah tidak bisa menunda lagi. Isu air harus menjadi prioritas utama dalam agenda adaptasi perubahan iklim. Perlindungan hutan dan kawasan penangkapan air adalah langkah penting. Tanpa hutan, kemampuan air menyimpan air akan hilang dan siklus alam semakin rapuh. Sektor pertanian juga membutuhkan inovasi. Teknologi hemat air seperti irigasi intermiten, yang sudah dipakai oleh sebagian petani di Klaten, terbukti bisa mengurangi penggunaan air tanpa mengurangi hasil panen . Praktik seperti ini perlu diperluas ke berbagai wilayah. Selain itu, diperlukan pendampingan dan edukasi agar petani benar-benar memahami manfaat teknologi ini, bukan hanya mengikuti tren sementara.
Di sisi lain, industri tidak boleh terus-menerus mencemari sungai. Peraturan ketat harus memastikan limbah diproses sebelum dibuang ke lingkungan. Kota-kota besar juga harus serius berinvestasi pada teknologi daur ulang air agar tidak terus bergantung pada penggunaan air tanah yang bisa memperparah penurunan muka tanah. Bahkan merekomendasikan solusi sederhana berupa pembuatan lubang biopori di setiap rumah, agar air hujan tidak terbuang percuma dan bisa terserap kembali untuk menjaga cadangan air tanah ( Sudarti & Puspitasri 2021). Penelitian terbaru juga menekankan perlunya perubahan hukum pengelolaan sumber daya air yang lebih adaptif terhadap krisis iklim serta melibatkan masyarakat adat dalam menjaga keberlanjutan air (Yuliastuti et al., 2025). Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, ancaman banjir rob dan krisis pasokan air hanya tinggal menunggu waktu. Lebih lanjut, pengelolaan air secara terpadu di berbagai sektor juga penting. Kerja sama antara pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat lokal dapat menciptakan solusi yang lebih sesuai dengan kebutuhan setiap wilayah.
Namun, tanggung jawab mengatasi masalah air tidak bisa hanya diambil alih oleh pemerintah dan perusahaan. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam hal ini. Menghemat air harus menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Tindakan kecil seperti memperbaiki keran yang bocor, menggunakan air secara bijak, dan tidak membuang sampah ke sungai bisa memberikan dampak yang besar. Beberapa komunitas sudah melakukan langkah nyata. Di Yogyakarta dan Bandung, warga bersama-sama membersihkan sungai. Dukungan yang luas terhadap kegiatan semacam ini sangat penting agar rasa peduli terhadap air tidak hanya berhenti di tingkat pembicaraan saja. Selain itu, kesadaran generasi muda harus dibentuk sejak dini melalui pendidikan lingkungan di sekolah, agar rasa peduli terhadap air bisa tumbuh menjadi budaya. Krisis air bukanlah ancaman yang jauh di masa depan, ia sudah ada di depan mata kita. Indonesia sekarang berada di titik pilihan: air bisa menjadi sumber yang berkelanjutan jika dikelola dengan bijak, atau justru menyebabkan konflik jika terus diabaikan. Pilihan ada di tangan kita semua, mulai dari pembuat kebijakan hingga orang biasa. Setiap orang memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta menjaga. Tindakan kecil yang dilakukan bersama akan menghasilkan dampak besar. Pada akhirnya, menjaga air sama artinya dengan menjaga kelangsungan hidup kita. Pertanyaannya, apakah kita berani bertindak sekarang, sebelum terlambat?
Daftar Pustaka
Detik. (2021, October 4). Banjir bandang terjang Luwu, ratusan rumah terendam.
Kompas. (2024, March 10). Kekeringan panjang melanda Nusa Tenggara Timur.
Sudarti, & Puspitasari, N. R. (2021). Dampak krisis air bersih pada musim kemarau di Desa Butuh, Kediri. Jurnal Sosial Humaniora, 14(1), 88--94.
Tempo. (2024, January 5). Banjir besar melanda Bali di awal tahun.
Wijayanti, T., & Nursalim, A. (2023). Dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air di Lombok Timur. Jurnal Geografi Lingkungan, 15(2), 55--67.
Wahyudin, W., Said, S., & Baharuddin, H. (2020). Kebijakan hukum lingkungan terhadap penanggulangan krisis iklim di Indonesia. Kalabbirang Law Journal, 2(2), 91--100.
Yuliastuti, D., Pranoto, S., & Rahmawati, E. (2025). Reformasi hukum pengelolaan sumber daya air di era krisis iklim. Jurnal Kebijakan Publik, 12(1), 77--93.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI