Mohon tunggu...
Mufdil Tuhri
Mufdil Tuhri Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Independen

Sedang bergelut dengan bacaan tentang Indigenous, Race and Ethnic Studies

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sebuah Catatan Kritis: Incung untuk Kerinci

7 Agustus 2020   21:53 Diperbarui: 9 Agustus 2020   03:07 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mendukung keberadaan bahasa daerah. (Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)

"Naskah Melayu itu bertuliskan Aksara Incung. Naskah Incung dapat ditemukan dalam peninggalan-peninggalan bertulis leluhur Kerinci yang disimpan dengan sangat rapi di masing-masing rumah gedang." 

Dalam salah satu obrolan dengan teman saya, seorang penggiat budaya di Kerinci, saya tersentak dengan curhatannya yang mengatakan bahwa seorang petinggi pemerintah tidak setuju jika incung dijadikan sebagai salah satu muatan lokal di mata pelajaran sekolah di Kerinci.

Bukan dalam kapasitas benar tidaknya informasi itu, saya memahami pernyataan penggiat budaya ini dalam dua hal. Pertama, ia menyampaikan dalam sesi ngobrol santai bersama dengan rekan-rekan yang bergerak di Komunitas Studi Kerinci. Saya menduga ia tidak bicara dalam basa basi. Ini bisa jadi benar adanya.

Kedua, memang pada kenyataanya bahwa saya sendiri yang menghabiskan wajib sekolah 12 tahun saya di Kerinci tidak pernah mendapat pendidikan muatan lokal itu. 

Demikian juga, saya coba tanya kepada keponakan saya yang masih di sekolah dasar, dia juga mengatakan "tulisan incung itu apa?" katanya. Bahkan, ponakan saya yang sekolah di salah satu Madrasah Aliyah di Kerinci juga pernah kaget dan bertanya kepada saya tentang tulisan apa yang ada di bawah papan nama jalan di Sungai Penuh. Ia menyebut, "mirip tulisan india", katanya.

Saya ingin melanjutkan pernyataan teman saya itu, katanya, "bapak itu ingin jika yang diajarkan adalah aksara arab dan bahasa Arab bukan aksara Incung apalagi bahasa lokal. Katanya, itu lebih sesuai dengan Kerinci yang Islam, dan bahasa Arab adalah bahasa Islam yang dipakai dalam doa-doa."

Muncul dalam benak saya saat itu bahwa ada problem yang mendasar di Kerinci saat ini. Ada keengganan dari pemerintah lokal untuk menjadikan incung sebagai muatan lokal dapat dilihat sebagai problem budaya secara umum.

Hanya saja, saya tidak begitu ingin mengonfirmasi kepada pemerintah atau Dinas Kebudayaan tentang problem ini. Namun, saya ingin memahami masalah budaya di Kerinci dalam perspektif yang lebih luas.

Kerinci, Budaya Turun Temurun yang Dipraktikkan

Dalam laporan sejarah, Kerinci sudah mempraktikkan Islam sejak kedatangannya sekitar abad 14-15 silam. Belakangan, Uli Kozok berpendapat bahwa Naskah Melayu tertua di Dunia berada di Kerinci. 

Naskah Melayu itu bertuliskan Aksara Incung. Naskah Incung dapat ditemukan dalam peninggalan-peninggalan bertulis leluhur Kerinci yang disimpan dengan sangat rapi di masing-masing rumah gedang. Teman saya yang seorang Arkeolog menduga penulis naskah tersebut adalah Kuja Ali, seorang muslim.

Masyarakat Kerinci adalah masyarakat Muslim yang berbudaya atau beradat. Hampir 100 persen penduduknya adalah penganut Islam. Di saat yang sama, masyarakat Kerinci mempraktikkan adat secara turun temurun. 

Salah satu nilai adat yang paling dipertahankan oleh masyarakat adat Kerinci adalah kearifan lokal tentang pengelolaan tanah yang diatur oleh adat menurut sistem matrilineal.

Dalam beberapa studi, menyebut bahwa Kerinci pada masa lalu adalah masyarakat yang dipimpin oleh sistem kedepatian. Ini berciri utama bahwa dalam satu wilayah negeri yang disebut adat sistem pemerintahannya dipimpin secara hirarki oleh Depati, Teganai dan Anak Jantan.

Beberapa persoalan polemik tentang Kerinci yang masih tersisa sampai hari ini seperti konflik antar desa sebenarnya adalah bagian dari kuasa depati antar daerah yang ingin mempertahankan wilayahnya masing-masing. 

Di sisi lain, politik identitas yang berkembang dahulu kala menghasilkan beragam macam tradisi dan adat yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Umumnya masyarakat Kerinci sadar akan perbedaan dialek setiap desa. Bahkan, ico pakai (praktik adat sendiri) juga berbeda di setiap desa.

Hari ini, masyarakat Kerinci memiliki filosofi yang mengakar kuat bahwa mereka adalah penganut Islam yang mengedepankan nilai luhur "adat bersendi syara', syara' bersendi Kitabullah".

Muatan Lokal Incung, Inspirasi Memahami Kerinci yang kaya

Saya memiliki pemahaman bahwa alasan utama kenapa kita mesti belajar tentang sejarah bukan agar sejarah itu diulang atau dipraktikkan sebagaimana dahulunya. Ini adalah pandangan yang juga sempit dan fanatik. 

Saya memahami kepentingan belajar sejarah ini karena itu akan menjadi upaya paling bagus untuk memproyeksikan masa lalu yang kuat dalam rangka memetik kearifan dan hikmah untuk menjadi modal menghadapi tantangan hari ini. 

Saya teringat, dosen saya di UIN Jakarta, Prof. Oman Fathurrahman pernah bercerita tentang satu desa di Aceh yang selamat dari Tsunami tahun 2006 lalu, karena masyarakat di daerah itu mampu membaca isyarat alam dari leluhur mereka. Mereka bisa menghindar dari Tsunami dengan pergi ke atas bukit.

Dalam kasus incung di atas, bagi saya, belajar incung adalah sarana bagi generasi muda untuk memahami tentang pengetahuan masa lampau yang kaya. 

Memahami incung sebagai aksara Kerinci adalah secara sadar memahami bahwa leluhur kita bukanlah orang yang buta huruf, tidak mengenal tulisan, sehingga mereka butuh pendidikan barat yang mengenalkan mereka akan tulisan latin.

Problem mental kolonial ini adalah tersendiri dalam masyarakat saat ini. Hal ini disebabkan oleh masyarakat kita yang telah lama "merasa" pernah dijajah, karena mereka pernah "merdeka". 

Oleh karena itu, untuk menjadi manusia seutuhnya, masyarakat mesti mengikuti pola kemajuan masyarakat barat. Namun, barat memiliki citra buruk pada beberapa dekade belakangan, terutama kesan barat yang dianggap sebagai pembawa nilai-nilai sekuler, tidak berbudaya timur dan sebagainya.

Dalam hal ini, saya bisa memahami bahwa muncul keinginan dari pemerintah yang ingin menggalakkan Islam sebagai identitas utama masyarakat seperti memperkenalkan Bahasa Arab sebagai modal menghadapi tantangan zaman hari ini. 

Saya memahami semangat penguatan identitas yang demikian ini. Hanya saja, saya merasa bahwa rujukan yang diproyeksikan justru tidak begitu mengakar dalam budaya Kerinci. Alih-alih menjadikan masyarakat sadar akan budayanya, mereka akan mendapat tugas baru untuk "menjadi Arab".

Oleh karena itu, saya menawarkan agar masyarakat Kerinci bersikap kritis memahami budayanya. Budaya Incung misalnya, adalah warisan leluhur dahulu. Ini menandakan bahwa leluhur kita sudah memiliki budaya tulis dan aksara sendiri. 

Mereka telah hidup dalam pengetahuan. Maka, jelas keliru narasi kolonial yang mengatakan bahwa leluhur kita adalah buta huruf, maksudnya adalah buta huruf latin yang baru diperkenalkan belakangan. 

Bagi saya, mempelajari Incung sebagai aksara Kerinci bukan untuk membaca kembali mantra-mantra bertulis Incung tapi menguatkan semangat identitas kultural sebagai benteng menghadapi tantangan globalisasi dan kapitalisasi yang mulai menghegemoni hari ini.

Belajar incung berarti juga membuka kembali lembaran tambo Kerinci, membaca riwayat-riwayat lokal dahulu yang memiliki khazanah tentang pengetahuan hidup bermasyarkat.

Pada akhirnya nanti, belajar Incung juga akan mempertemukan kita dengan kekayaan naskah tulisan leluhur dalam Arab Melayu, Arab Jawi dan tentu dalam Bahasa Arab. 

Itu akan membuka gerbang kita untuk memperkaya pengetahuan kultural yang melampaui sikap inferioritas bangsa pada era kolonial. 

Namun, mencoba hadir dalam zaman ketika masyarakat kita sudah mengadakan perdagangan global berupa emas dan garam pada abad ke 17. Menurut saya, ini yang dinamakan dengan semangat inspiratif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun