Mohon tunggu...
Muchammad Nasrul Hamzah
Muchammad Nasrul Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Asli

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sufisme dan Film India: Sebuah Teologi Pembebasan (Bagian 2)

1 Januari 2021   06:45 Diperbarui: 1 Januari 2021   06:54 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan Film Manjhi: The Mountain Man. (foto: indianexpress.com) 

Seorang anak dari keluarga terhormat harus lahir di sebuah tempat pelacuran. Bahkan, mereka yang oleh masyarakat dianggap terhormat ternyata tidak lebih hina daripada pelacur yang menjajakan diri untuk para lelaki hidung belang. 

Orang-orang yang digambarkan terhormat itu lebih hina karena menjajakan bisnis haram yang mengakibatkan rusaknya satu generasi. Begitulah kiranya gambaran tentang film India berjudul Jeet yang rilis tahun 1996. Film ini dibintangi oleh beberapa deret nama beken seperti Sunny Deol, Salman Khan, Karishma Kapoor dan Tabu. 

Sekilas, mungkin apa yang penulis bahas dalam film ini terkesan jauh dengan tema dan judul yang dibawa. Namun, Jeet secara tidak langsung menyisipkan pesan tentang memandang seseorang tidak dari pekerjaan dan status sosial melainkan dari bagaimana mereka berlaku terhadap sesama manusia. Karena manusia semua sama posisi dan derajatnya di hadapan Tuhan. Ajaran itu merupakan salah satu yang ingin disampaikan dalam dunia sufi. 

Berbicara soal Sufi maka salah satu ajaran yang cukup terkenal adalah Wahdatul Wujud atau yang biasa orang Jawa bilang sebagai Manunggaling Kawulo Gusti. Dianalisa dari perspektif kebatinan sebagaimana diajarkan beberapa nama sufi terkenal baik Mansour Al Hallaj ataupun Syekh Siti Jenar, maka Wahdatul Wujud kerap dianggap sebagai ajaran bersatunya antara makhluk dengan sang kholik atau pencipta. 

Penulis tidak ingin terjebak dalam perdebatan apakah ajaran itu sesuai dengan ajaran agama atau tidak, namun sepanjang penulis mempelajari hal tersebut, ajaran Manunggaling Kawula Gusti dalam perspektif rohani adalah pengalaman ibadah pribadi yang mungkin saja tidak bisa ditempuh oleh semua orang lantaran ada perbedaan maqom dalam perjalanan spiritualnya. 

Namun, dimensi ajaran Manunggaling Kawula Gusti tidak hanya pada sektor spiritual hubungan antara manusia dengan Tuhan, namun ajaran ini juga menjadi sebuah ajaran pembebasan dari penindasan dan kesamaan antara umat manusia tanpa terhalang sekat ras, suku, agama, dan bahkan status sosial. 

Mansour Al - Hallaj misalnya, dalam sebuah buku berjudul Mystical Dimension of Islam karangan Schimmel dijelaskan tidak menaruh ajarannya sebatas di "langit", namun sang sufi juga " Membumikan" Ajaran itu untuk melawan pemerintahan yang terlalu mencengkeram rakyatnya. 

Al - Hallaj dituliskan oleh Schimmer berteman oleh kalangan oposisi untuk melawan pemerintah Baghdad yang kala itu semena-mena dalam menarik pajak kepada warga. Ajaran sufistik Al-Hallaj yang berpihak pada kaum yang lemah dikhawatirkan bisa membalikkan struktur sosial politik yang ada kala itu, sehingga wajar jika akhirnya Al - Hallaj harus wafat di tangan pemerintah dengan tuduhan menghina Tuhan. 

Sama seperti Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar atau yang akrab disapa Syekh Lemah Abang tak hanya mengajarkan Manunggaling Kawula Gusti yang bersifat spiritual, namun juga membumikan ajaran tersebut untuk memudarkan sekat antara penduduk biasa dengan penduduk yang masih memilki afiliasi kepada kerajaan. 

Menurut Agus Sunyoto baik dalam buku Atlas Wali Songo maupun buku Suluk Siti Djenar yang dibuat 7 bab itu, menceritakan jika salah satu peninggalan terbesar Syekh Siti Jenar adalah terciptanya kata "masyarakat" yang diambil dari Bahasa Arab yakni "musyarokah" yang kurang lebih artinya adalah akad atau persetujuan bersama. Konsep masyarakat ini dikenalkan oleh Syekh Siti Jenar kepada penduduk sebagai upaya untuk memutus perbedaan antara antara rakyat kelas bawah dan rakyat yang berafiliasi dengan Kerajaan pada zaman itu. 

Artinya, konsep masyarakat menempatkan baik mereka yang keturunan kerajaan atau masih satu afiliasi dengan penduduk biasa adalah mereka yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Itulah mengapa baik Wahdatul Wujud yang dicetuskan Al-Hallaj dan juga Manunggaling Kawula Gusti milik Syekh Siti Jenar sama-sama memiliki dimensi sosial. 

Lalu apa kaitan ajaran ini dengan film India? Oke. Mari kita mulai dari film Jeet. Salah satu adegan film itu tersisip sebuah lagu berjudul "Sanso ki Mala Pe" yang merupakan   puisi abad ke 16 yang ditulis oleh Meera Bai. Puisi ini disebut banyak kalangan memiliki unsur mistis yang kuat karena berkaitan dengan ajaran Hindu kala itu. Lagu ini juga digubah oleh Rajesh Roshan dalam film Koyla yang dibintangi oleh Shah Rukh Khan dan Madhuri Dixit. 

Lama tidak tergaung, seorang penyanyi dan pencipta lagu handal asal India beragama Islam, Nusrat Fateh Ali Khan lantas menggemparkan publik dengan menggubah lagu ini menjadi cukup tenar. Bahkan dalam even bernama "Qawwali" pria yang akrab disapa Ustadz Fateh itu menyanyikan lagu tersebut dengan menambahkan kata "masjid" di dalamnya. Meski ada penambahan kalimat namun umat Hindu di India tidak mempermasalahkan hal itu, karena lagu ini dianggap sebagai nyanyian cinta hamba kepada Tuhannya. 

Sama seperti yang penulis bahas dalam artikel bejudul "Cinta dan Sufisme dalam Film India (Bagian 1)", ada banyak lagu dalam film India yang mengutarakan bagaimana ajaran sufi yakni cinta kepada Tuhan namun dikemas dalam suasana hubungan romantika antara manusia. Lirik lagu yang sebenarnya memiliki pesan religius namun kerap disalahpahami sebagai sebatas lagu cinta semata juga ada dalam beberapa film India. 

Lagu-lagu itu biasanya diaransemen oleh komposer kelas "dewa" macam AR. Rahman dan Nusat Fateh Ali Khan yang memang memiliki pengalaman spiritualitas yang kuat. Bahkan, Lagu-lagu mereka bisa menyekat batas dan mendamaikan umat Islam dan Hindu yang kerap berkonfrontasi di India dan menyisipkan pesan bahwa mereka bersaudara dan sama di hadapan Tuhan. 

Nah, eksplorasi nuansa sufi dalam film India juga ditampilkan dalam jalan cerita dan juga beberapa adegan yang ada dalam film. Upaya melawan perbedaan kasta, ras, suku dan agama tak lain adalah manifestasi dari ajaran sufi yang sebagaimana dijelaskan di atas. 

Penulis banyak menemui film India yang mencoba melawan sistem kasta sebagaimana Syekh Siti Jenar membumikan kalimat Masyarakat sebagai upaya menempatkan semua manusia sama di hadapan Tuhan. beberapa film misalnya Article 15 yang dirilis pada tahun 2019, secara gamblang melawan sistem kasta yang ada di India. 

Begitu pula ketika menonton film Manjhi: The Mountain Man yang tayang pada tahun 2015. Film ini berdasarkan kisah nyata seseorang bernama Manjhi yang harus kehilangan nyawa anaknya lantaran istrinya keguguran saat di tengah perjalanan. Bagaimana tidak jarak antara rumah dan kota tempat rumah sakit terdekat ada dibatasi oleh sebuah gunung besar. 

Sejak kematian anaknya itu, Manjhi yang berasal dari kasta Dalit yakni kasta terendah yang ada di India bertekad keras untuk membuat jalan tembus semasa hidupnya. Ia mencoba membongkar gunung dengan satu palu yang ada di tangannya hanya untuk membuat jalan pintas bagi masyarakat. 

Kisah Manjhi ini yang legendaris ini membuktikan bahwa meskipun dari kasta terendah ia tetap mencoba menjadi bermakna bagi manusia lain karena sejatinya penilaian Tuhan atas manusia bukanlah dari kasta mana ia ditempatkan oleh masyarakat. 

Beberapa film India juga membawa misi Teologi Pembebasan yang ingin mendobrak sistem kasta yang kuat di India. Meski dibalut dalam kisah cinta beda kasta namun,  film tersebut menunjukkan bagaimana upaya beberapa sineas melawan sistem kasta. 

Film Swades yang dibintangi oleh Shah Rukh Khan juga merupakan bagian dalam upaya melawan kasta yang ada. Film keren yang tidak laku di pasaran itu terdapat pesan yang menggambarkan jika Manmohan yang diperankan oleh Shah Rukh Khan ingin agar anak desa dari kasta rendah bisa mendapatkan pendidikan yang sederajat. Namun, upaya itu mendapat penolakan dari warga Kasta Brahmana yang menganggap mereka lebih tinggi. 

Bahkan, industri film India juga sudah menunjukkan bagaimana melakukan perlawanan terhadap rasisme dengan memasukkan beberapa artis dan aktor yang berwajah tidak putih dalam film. Maka, beberapa nama terkenal salah satunya seperti Radhika Aapte, mendapat tempat dan menjadi superstar. Kondisi ini berbanding terbalik pada sekitar tahun 1970 an di India, yang masih memandang jika aktor dan artis adalah mereka yang berkulit putih. 

Film Bala yang pernah penulis ulas dalam tulisan sebelumnya menggambarkan adanya sosok artis yang terpaksa harus didandani menjadi berkulit coklat sebagai pemeran utama meski ia aslinya berkulit putih. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar tidak ada diskriminasi ras meskipun dalam film. 

Meski tidak ada kaitan langsung antara ajaran sufi Islam dengan banyak film India yang penulis bahas, namun keduanya memiliki persinggungan yang cukup kuat. Dua agama itu bertumbuh besar di India dan beberapa ajaran juga mengamalkan ajaran sufi di dalamnya.

Seperti ajaran sufi Jalaludin Rumi ternyata banyak mengilhami AR Rahman membuat lagu dan lirik sepanjang karirnya. Bahkan dalam sebuah film tarian khas memutar ala Rumi juga ditampilkan dengan cukup gamblang. 

Bisa saja ajaran sufi yang berdimensi sosial sebagaimana diajarkan Al Hallaj dan sufi lainnya dengan pesan kemanusiaan secara universal mengilhami sineas dan penulis naskah untuk melawan dominasi sistem kasta yang selama ini tumbuh di negara tetangga itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun