Perubahan Keilmuan
Secara umum, pada periode Mekkah, kebijakan dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad lebih menonjolkan kepemimpinannya daripada kenabiannya. Implikasinya, strategi dakwah yang menekankan keteladanan dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial, seperti egalitarisme, dianggap lebih tepat dibandingkan dengan hanya menonjolkan aspek kenabian.
Sejarah Nabi Muhammad di Madinah
Periode Madinah (622--632 M) dimulai dengan peristiwa Hijrah, atau migrasi Nabi Muhammad dan para pengikutnya dari Makkah. Hijrah bukanlah sekadar pelarian dari penganiayaan, melainkan sebuah strategi politis yang cerdas. Nabi Muhammad datang ke Madinah, sebuah kota yang terpecah oleh konflik internal antara suku Aus dan Khazraj, dengan tawaran persatuan. Beliau berhasil mengubah kerangka berpikir masyarakat dari ikatan darah kesukuan menjadi ikatan politik yang berbasis kesepakatan. Ini adalah langkah pertama yang krusial untuk mendirikan sebuah negara berdaulat.
Kota Madinah merupakan titik tolak pengembangan dakwah rasulullah Saw, yang sebelumnya berjalan lambat di kota Mekkah. Keputusan untuk hijrah ke Madinah merupakan salah satu keputusan yang tepat dibuat oleh Rasulullah sehingga dakwah bisa berkembang hingga saat ini keseluruh penjuru negeri. Dakwah Rasulullah di kota Madinah ini memilki karakteristik tersenedri karena masyarakat di Madinah bersifat plural dengan memiliki masyarakat yang memilki latar belakang berbeda-beda baik dari sisi budaya, agama, ras, dan warna kulit. Dan uniknya, dakwah di kota Madinah ini, mampu menjaga harmonisasi antara umat beragama yang hidup di sana.
Rasulullah memikul tugas yang berat dalam memperbaiki dan membangun masyarakat di kota Madinah. Salah satu upaya yang dilakukan oleh rasulullah adalah dengan membangung sebuah komunitas kuat yang saling bersinergi untuk membangun Islam dan kota Madinah. Perlu upaya strategis yang dilakukan oleh Rasulullah untuk membangun komunitas yang kuat ini. Beberapa upaya yang dilakukan oleh Rasulullah dalam mebangun komunitas muslim di kota Madinah, yaitu:
- Mendirikan Masjid;
- Membangun Komunikasi dengan Seluruh komunitas;
- Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshor;
- Membuat Satu Kesepahaman dalam Piagam Madinah.
Wahyu Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan
Dalam tradisi pemikiran Islam, wahyu tidak hanya dipahami sebagai petunjuk spiritual atau pedoman moral, tetapi juga sebagai sumber ilmu pengetahuan (epistemologi) yang fundamental. Pandangan ini berbeda dari epistemologi Barat yang cenderung hanya mengakui akal (reason) dan pengalaman empiris (empirical evidence) sebagai sumber ilmu yang valid.
Wahyu sebagai Pengetahuan Primer ('Ilm al-Wahy);
Konsep ini merujuk pada pengetahuan yang berasal langsung dari Allah, diterima oleh para nabi dan rasul. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan tidak bisa dipertanyakan kebenarannya.
Akal sebagai Alat untuk Memahami Wahyu;