Ada tiga "kerajaan" yang muncul di Indonesia dan ramai dalam pemberitaan yaitu Keraton Agung Sejagat (KAS), Sunda Empire, dan Kesultanan Selacau di Tasikmalaya.Â
Dengan berbagai latar belakang dan fantasinya, kehadiran mereka lebih mirip seperti keturunan/dinasti yang hilang dan muncul untuk merebut kembali warisannya, yaitu kekuasaan atas dunia.Â
Mereka hadir di Indonesia dan memunculkan berbagai reaksi, mulai dari terhibur, bingung, hingga ironi. Namun bagi kalian yang berpikir mereka adalah kaum pemberontak, micro-nation, dan apapun, itu salah karena sesungguhnya --dari pemberitaan yang beredar---mereka cuma sekumpulan orang dengan fantasi yang cukup liar dan terealisasi.
Namun saya lebih menyoroti kehadiran Sunda Empire di Bandung, dan hal ini beralasan karena:
1. Konsep dari "kerajaan" ini sudah ada sejak zaman pemerintahan Suharto (menurut Ari Subagdja, seorang budayawan Sunda, yang dikutip dari wawancara bersama TVOne).
2. Mengambil nama suku sebagai nama "kerajaan"
3. Salah satu video-nya yang viral adalah kegiatan di UPI, dan sialnya mereka itu berkegiatan di kampus saya menjalani studi.
Jika ditelisik lagi dari berbagai pemberitaan dan video yang beredar, ternyata "kerajaan" ini sesungguhnya bukanlah ancaman bagi kedaulatan NKRI. Bisa dikatakan kegiatan mereka sangat mirip dengan organisasi masyarakat biasa, tapi halusinasinya luar biasa.
Hal itu bisa saya katakan karena mereka hadir jauh dari konsep etnonasionalisme (kebangsaan berdasarkan suatau entitas semata) yang di Indonesia sudah jadi masalah sejak dulu, contohnya adalah GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan RMS (Republik Maluku Selatan).Â
Keduanya berjuang atas supremasi kesukuan yang ada dan bertindak untuk membentuk suatu negara yang berdaulat. Merekalah yang sesungguhnya bentuk ancaman yang sesungguhnya karena berniat mendirikan sebuah bangsa berdaulat di wilayah daerah yang sudah berdaulat dan diakui secara Internasional.
Semangat membentuk sebuah bangsa atas dasar entitas dan ketidakpuasan terhadap suatu pemerintah memang menjadi momok bagi jalannya pemerintahan, di sisi lain, etnonasionalisme dapat 'disetir' untuk menguatkan suatu nasionalisme yang menjunjung tinggi semangat keberagaman.Â
Hal ini terjadi di Norwegia (Pihl dalam Alghasi dkk., 2009) dimana berbagai pendidikan untuk imigran disesuaikan untuk kebutuhannya dan terlepas dari campur tangan gereja yang memang banyak berkontribusi dalam memberikan arahan dari jalannya roda pemerintahan Norwegia.Â
Singkatnya mereka bisa dengan bangga tampil dan belajar dengan "supremasi etnis" mereka namun tidak menampik bahwa harus tunduk pada hukum publik yang berlaku di Norwegia.
Tetapi itu cuma bukti kecil yang positif dari perlakuan terhadap suatu etnis bagi bangsa yang berdaulat, sisanya yang saya temukan justru bersifat negatif dan tak menguntungkan siapapun. Contohnya yang terjadi di suatu daerah yang bernama Manipur, India (Kom, 2015) dimana bentuk etnonasionalisme beberapa etnis yang "tersingkir" disana adalah bentuk militansi militer. Hal ini mirip dengan yang terjadi di Aceh dengan GAM-nya (Hasan & Ahmedy, 2014) dimana hak-hak entitas tidak dapat tertampung secara praktis dalam kehidupan nasionalisme di Indonesia saat itu --katakanlah seperti Jawasentris. Nasionalisme yang mulai diragukan membuat pergolakan pemberontakan banyak terjadi, dan tak sedikit di dasari atas supremasi dan keadilan untuk etnis yang dibela oleh pemberontak tersebut.
Indonesia saat ini memang belum aman dari perpecahan di beberapa daerah, termasuk daerah timur Indonesia. Namun jangan khawatir, Sunda Empire dan dinasti yang lainnya bukanlah bentuk ancaman serius, tapi bisalah kita bikin meme dan jokes agar hidup tak melulu stress.Â
Bahkan mereka tidak sekonyong-konyong mendalami entitas Sunda sebagai bahasan utama, justru sering membahas negara dan institusi lainnya dan nama "Sunda" Cuma simbol megah tanpa kajian lebih lanjut.
Ancaman yang sesungguhnya lahir dari praktik dari nasionalisme semu yang tak mewadahi hak-hak adat/etnis tertentu yang dapat merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Referensi :
- Hasan, E. & Ahmedy, Z. (2014). Nationalism Transformation in Aceh. Politik, 10(2), 1569-1574. Diakses dari:Â journal.unas.ac.id
- Kom, C.S. (2015). Ethno-nationalism: Competing Micronationalist Dissents in Manipur. Social Change, 45(2), 289-307. DOI: 10.1177/0049085715574192
- Algashi, S., Eriksen, T.H. & Ghorashi, H. (2009). Ethno-Nasionalism and Education. Paradoxes of Cultural Recognition; Perspective from Northern Europe. Farnham: Ashgate Publishing.