Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bermunajat untuk Pekerja Asing

23 Februari 2019   08:18 Diperbarui: 23 Februari 2019   09:28 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra; taken from tirto.id

Dia seorang paruh baya, lelaki yang biasa saja dengan gelar yang luar biasa menurutku. Dia bernama Bagus, atau selalu ku panggil Pak Bagus atau Bang Bagus oleh orang-orang di sebuah hutan karet di Aceh. Ya, Aceh, disinilah aku, Pak Bagus dan para pekerja yang berasal dari berbagai daerah datang kesini untuk mencari pendapatan yang lebih menjanjikan dengan menjadi petani getah karet, dan Pak Bagus adalah orang yang mungkin saja sudah meraih langkah pertama menuju hal-hal menjanjikan tersebut.

Kami semua sangat akrab satu sama lain, hal itu aku maklumi karena cenderung di dasari oleh perasaan yang sama sebagai orang rantau. Tempat kerja kami seakan berimbang antara orang lokal dengan orang rantau dengan perbandingan rasionya mungkin 50:50. 

Maka daripada itu, berbahasa Indonesia merupakan bahasa yang menyatukan kami semua selama bekerja, bukan berarti kami tidak bisa sama sekali bahasa daerah Aceh karena jika kami tidak mengerti sama sekali, maka kami akan sangat kesulitan dalam mencari makan dan bercengkrama dengan penduduk lokal disini.

"Kamu makan dulu sana, nanti habis solat kita langsung bekerja." Ucap Pak Bagus menyahutku dari tempat makan sederhana buatan warga.

Makanan disini sungguh didominasi oleh makanan pedas, dan penyajiannya pun hampir sama di semua daerah. Apapun namanya, makanan yang kita lihat dibalik etalase yang sudah bercampur dengan rempah-rempah sang penggoda hasrat perut tersebut menjadi hal yang lumrah diendus. Tak pikir panjang, aku langsung memesan Mi Aceh dan sepiring nasi. Mau bagaimana lagi, itu makanan memang luar biasa nikmat untuk perut dan kantungku.

"Wah, gilak kali ini, gus !" seorang mandor memperihatkan halaman koran kepada Pak Bagus.

"Emang kenapa, pak Marwan ?" beliau menjawab rasa terkejut pak Mandor

"Jakarta harus hancur segalanya untuk bisa menggulingkan Pak Harto. Padahal harusnya mahasiswa-mahasiswa itu belajar yang rajin, bukannya malah menggulingkan pemerintahan" nada bicara Pak Mandor sedikit kesal

"Biarlah pak, namanya juga anak muda. Macam tak pernah muda saja kau ini, ha ha ha." Tawa pak Bagus.

Benar, sudah satu Bulan pasca lengsernya Soeharto akibat desakan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya yang sudah muak dengannya. Akulah orang dari sekian banyak orang yang bisa saja termasuk ke dalam jajaran para pembenci Soeharto. Hal itu gara-gara diriku yang menjadi "korban" program Transmigrasi miliknya yang membuatku harus mencari peruntungan ditempat yang tidak aku inginkan.

Namun tidak bagi Pak Bagus, yang jika aku ceritakan ternyata dia punya banyak sekali "identitas" yang melekat pada dirinya. Bayangkan, dia adalah anak dari orang tua yang punya kekentalan budaya Jawa yang luhur. Dia direncanakan untuk lanjut kuliah di ITB setelah lulus SMA di Semarang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun