Mohon tunggu...
Mual P Situmeang
Mual P Situmeang Mohon Tunggu... Relawan - Pekerja Sosial

Spesialis Pelibatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Cepat Menghakimi tapi Memahami Perspektifnya

8 April 2022   23:15 Diperbarui: 9 April 2022   09:24 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persepsi (foto braingymmer.com)

Perspektif dalam kamus Bahasa Indonesia adalah sudut pandang. Jika kita letakkan huruf W dilantai.  Orang yang posisi berdirinya disisi atas memandangnya sebagai hurup M. Sedangkan posisi di bawah sebagai W.  Keduanya benar dari sudut pandang posisi dia berdiri.  

Lucunya banyak perpecahan dan pertentangan dimasyarakat akibat beda persepsi.  Masing-masing mempertahankan pandangannya sebagai yang benar dan saling menyalahkan.  Disinilah permasalahannya.  Dan kelucuan itu masih terus berlangsung hingga saat ini.

Illustrasi memandang (foro liputan6.com)
Illustrasi memandang (foro liputan6.com)

Salah satu cara memahami perspektif orang lain adalah berada dalam posisinya.  

Suatu hari kami baru pindah dari ibu kota metropolitan Jakarta, Indonesia ke kota Vientiane, Laos.  Jakarta merupakan kota penuh dengan gedung modern seperti mall besar dimana-mana dan taman-taman besar yang indah seperti Taman Monas, dan Suropati  Menteng dlsb. Tetapi suasana dan kondisi kota Vientiane mirip seperti kota di kabupaten di Indonesia yang belum banyak Mall dan gedung modern.

Kami terperanjat menyaksikan sekelompok masyarakat sedang berkumpul dan duduk bersantai mengitari pohon Bogen Ville kecil. Dalam hati kami bertanya apa yang mereka lakukan disana.  Tempatnya sederhana tidak ada hal menarik selain banyak orang duduk saja. 

Beberapa hari kemudian kami bertanya pada orang setempat. Ternyata mereka biasa berkumpul disana menikmati suasana taman dengan 1 atau 2 pohon Bogen Ville. Ya ampun. Itulah taman umum yang mereka selalu kunjungi.  Hati kecil saya tertawa dengan peristiwa itu dan seolah meremehkannya.  Sambil membayangkan seandainya mereka dapat melihat Taman Monas, atau Suropati di Jakarta.  Namun pengalaman ini tersimpan beberapa waktu lamanya.

Setelah melewati waktu tiga tahun hidup di kota Vientiane. Terbiasa bermasyarakat dengan mereka. Bergaul erat dengan keluarga setempat dan semakin menghayati budaya dan perjuangan hidup mereka di tengah pemerintahan otoriter.  Berbelanja di pasar tradisional dan juga menghadiri acara budaya mereka seperti pesta pernikahan dan kematian.  Juga acara libur keagamaan. Kami merasa Laos menjadi rumah kedua dan merasa nyaman hidup bersama mereka.

Masyarakat Laos (foto www.ifad.org)
Masyarakat Laos (foto www.ifad.org)

Pada suatu hari kami ternyata duduk juga ditaman yang tiga tahun lalu kami remehkan. Ternyata taman ini indah dan menarik karena memang inilah satu-satunya yang ada dikota itu. Selama tiga tahun kami tidak melihat taman dan gedung modern seperti di Jakarta tetapi melihat kesederhanaan dan ketertinggalan kota Vientiane.  Pandangan kami berubah.  Yang tadinya tidak bernilai dan diremehkan akhirnya bisa dihargai dan dinikmati.  Kami belajar memakai sepatu mereka dan mengerti seperti apa yang mereka rasakan juga.  Memandang sebagaimana mereka memandangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun