1. Keabsahan dan Otoritas Keilmuan
Tidak semua tafsir digital yang beredar di internet memiliki sumber yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Banyaknya website atau media sosial yang menyebarkan tafsir tanpa referensi yang jelas dapat menyebabkan penyebaran pemahaman yang keliru terhadap Al-Qur'an.
2. Distorsi dan Kesalahan dalam Terjemahan Digital
Penerjemahan otomatis menggunakan AI masih memiliki keterbatasan dalam memahami konteks linguistik dan historis suatu ayat. Ini bisa menyebabkan makna yang melenceng dari tafsir yang sebenarnya, sehingga perlu ada pengawasan dari ahli tafsir dalam proses digitalisasi.
3. Potensi Penyalahgunaan dan Radikalisasi
Kemudahan akses terhadap tafsir digital juga membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan ideologi ekstrem atau menafsirkan ayat secara tidak kontekstual. Oleh karena itu, regulasi dan pengawasan terhadap konten digital menjadi sangat penting.
4. Ketergantungan terhadap Teknologi
Digitalisasi memang mempermudah, tetapi juga berisiko menimbulkan ketergantungan. Generasi muda yang terbiasa dengan tafsir digital mungkin kurang familiar dengan kitab-kitab tafsir klasik dalam bentuk cetak, yang sebenarnya memiliki kedalaman ilmu lebih luas.
Digitalisasi tafsir dan Al-Qur'an menawarkan peluang besar dalam penyebaran ilmu Islam secara luas, mempermudah akses bagi umat Islam di seluruh dunia, serta membuka inovasi dalam kajian keislaman. Namun, di sisi lain, tantangan seperti keabsahan tafsir, potensi penyalahgunaan, dan keterbatasan teknologi masih perlu diatasi. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara ulama, akademisi, dan pengembang teknologi untuk memastikan bahwa digitalisasi ini tetap berada dalam koridor yang benar dan bermanfaat bagi umat Islam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI