Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pernyataan Anies Baswedan Benar secara Politis

5 Oktober 2016   14:23 Diperbarui: 5 Oktober 2016   15:32 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua bocah Haikal dan Aldi saat bermain dan berenang di aliran Kali Mampang, Jakarta Selatan, Jumat (6/5/2016). (Kompas.com/Robertus Belarminus)

Seseorang yang bersikap kritis tak pernah menelan mentah-mentah sebuah pernyataan politis sebagai kebenaran mutlak. Prinsip itu sebaiknya dipegang teguh oleh setiap warga yang mengklaim dirinya rasional, khususnya dalam konteks kontestasi para calon kepala daerah. Yang paling panas sekarang tentulah ajang Pilgub DKI 2017. Tiga pasangan calon (Agus-Silvy; Ahok-Djarot; Anies-Sandi) sudah mulai “jual-beli jab”, dalam bentuk pernyataan-pernyataan politis yang mengangkat diri sendiri dan atau menjatuhkan calon lain.

Setiap pernyataan para calon itu harus diterima sebagai pernyataan politis, bukan pernyataan ilmiah secara khusus. Karena itu tak perlu repot-repot mencela seorang calon jika pernyataannya dianggap tak sesuai dengan fakta. Hal terakhir ini baru saja terjadi pada salah seorang calon, yaitu Anies Baswedan gara-gara dia bilang sungai di Jakarta itu bersih karena program JEDI-nya Foke, bukan karena programnya Ahok. Spontan netizen pro-Ahok mengolok-olok Anies sebagai orang yang kehilangan sikap akademis. 

Karena itu rekan Pebrianov perlu menuliskan sebuah artikel panduan praktis untuk “Memahami Data, Opini, dan Cara Menyampaikan Pernyataan Tokoh Politik” (K. 5/10/2016). Artikel ini adalah catatan kaki untuk artikel Pebrianov.

Yang mau saya garis-bawahi adalah tidak ada pernyataan politik (atau politisi) yang bebas nilai atau kepentingan. Otomatis setiap pernyataan Agus/Silvy, Ahok/Djarot, dan Anies/Sandi juga tidak bebas nilai/kepentingan, karena mereka semua sekarang adalah politisi. Sekali lagi, “mereka adalah politisi”. Setiap politisi sudah punya nilai/kepentingan sendiri di kepalanya, sesuai nilai/kepentingan partai pendukung atau tempatnya berada. Jadi sudah pasti tiga pasangan tersebut punya nilai/kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan. Sebab kalau sama, maka tak ada itu kontestasi.

Jika mengambil contoh kasus “Kali Bersih”, sudah pasti Anies akan mengutip data yang mengecilkan peranan Ahok. Sementara Ahok pasti mengutip data yang menonjolkan peranannya. Maka ajakan Ahok agar Anies melihat data di kantornya tidak relevan sama sekali. Soalnya Anies tahu data itu dikumpulkan Ahok sendiri dengan dipandu oleh nilai/kepentingannya sendiri. Sudah pasti data bias kepentingan Ahok. Karena kepentingan Anies adalah meniadakan peran Ahok, maka secara politis sudah tepat dia merujuk pada data Foke. Dengan begitu pernyataannya secara politis menjadi benar, dalam arti sesuai dengan nilai/kepentingan yang melekat padanya.

Itu sebabnya seorang calon pemilih yang menilai dirinya rasional harus kritis terhadap pernyataan politis setiap cagub/cawagub DKI. Kritis dalam arti mampu menilai kebenaran politis dan empiris dari tiap pernyataan itu. Tentang kebenaran empiris, tetpaksa saya harus bicara soal fakta dan data juga. Fakta adalah obyek yang kita amati, sedangkan data adalah dokumentasi kita (angka, kata, citra) tentang fakta itu. Pertanyaannya, apakah fakta dan data netral, bebas nilai/kepentingan? Jawabnya: tidak! Sebab seseorang memilih fakta dan mengumpul data tertentu sesuai dengan nilai/kepentingannya. Lho, kok gitu. Ya memang begitu.

Ambil contoh kasus “Kali Bersih” lagi. Apakah Anies-Sandi akan memilih ruas sungai bersih untuk diamati, dikumpul datanya, lalu disimpulkan ssebagai pernyataan politis? Tentu tidak. Atau apakah Ahok-Djarot akan mengamati ruas sungai paling jorok, mengumpul data, lalu menyimpulkannya dalam pernyataan politis? Tentu tidak.

Setiap politisi akan memilih objek amatan dan mengumpul data sesuai dengan nilai/kepentingan politisnya. Jadi, sejatinya, tidak ada politisi yang sungguh-sungguh memperjuangkan nilai/kepentingan rakyat. Yang terjadi adalah politisi dan rakyat saling-memasukkan kepentingan, maka terjadilah “kecocokan” politis. Setidaknya selama masa kampanye.

Pernah dengar pameo “Politisi boleh bohong tapi tak boleh salah; Akademisi boleh salah tapi tak boleh bohong”? Maksud politisi “boleh bohong” itu adalah semacam “hak” untuk merujuk fakta/data yang bias kepentingannya sebagai dasar pernyataan politiknya. Dia harus melakukan itu agar pernyataannya tidak bertentangan atau menegasikan nilai/kepentingan partai pengusungnya. Kalau ini terjadi, maka dia telah melakukan kesalahan secara politis. Dan ingat, politisi “tak boleh salah”. Maka akan menjadi sebuah kesalahan politik besar jika Anis bilang “Kali Jakarta bersih berkat kerja Ahok.”

Begitulah. Mari kita kritis, agar tak buru-buru menghujat para politisi yang sedang berkontestasi menuju Pilgub DKI 2917.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun