Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money

Orang Batak dan Sarung Balige

1 November 2016   15:36 Diperbarui: 1 November 2016   15:46 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja mengoperasikan ATM menenun sarung di Balige (ayogitabisa.com)

Ada kota-kota tertentu  di nusantara ini yang  diasosiasikan dengan produk tekstil khas. Semisal Padang dan Palembang dengan songketnya, Pekalongan dan Lasem dengan batiknya, Ende dan Maumere dengan tenun ikatnya. Itu sekadar menyebut beberapa saja. Produk itu  menjadi penanda bagi kota.  Lazimnya jadi  “must have” bagi pengunjung,  bukti dia pernah mampir di situ.

Lalu,  jika bicara  Balige,   kota tua Tanah Batak (Toba) di pantai selatan Danau Toba,  adakah produk tekstil penandanya? Ya, ada “mandar” atau sarung Balige. Sarung tenun katun khas sana.  Boleh dibilang,  sampai  1990-an setiap orang Batak  yang lahir di Tanah Batak pasti pernah dibedong pakai sarung itu. Bahan katunnya yang hangat cocok untuk menahan  udara dingin dataran tinggi Toba. 

Mungkin tak berlebihan mengatakan  tak ada orang Batak “asli” Tanah Batak yang tak pernah mengenakan atau tak kenal  sarung Balige. Produk ini terlalu populer untuk tak dikenal orang Batak. Setidaknya sampai akhir 1990-an, saat industri tenun Balige memasuki “senja kala” alias memudar. Tahun 1998 jumlahnya tinggal 13 unit.  Skalanya juga semakin menciut menjadi usaha kecil/menengah dan bahkan mikro. Padahal tahun 1970-an sempat beroperasi 70-80 unit pabrik tenun di sana, sebagian skala besar. Sehingga Balige dijuluki “Majalaya Kedua”, merujuk nama kota sentra industri tenun terbesar se-Indonesia di Priangan selatan waktu itu. 

Industri tenun sarung Balige itu punya sejarah panjang.  Ia dibangun lewat tiga “generasi” sejak tahun 1930-an. Industri ini diprakarsai Pemerintah Kolonial untuk mengantisipasi dampak Depresi Besar pada ekonomi rakyat setempat dan Sumatera Timur. Waktu itu Toba sudah terbuka ke utara dan selatan. Sehingga produk tekstil murah Balige bisa  masuk ke berbagai kota di Sumatera Timur.

Balige dipilih menjadi sentra industri tenun  karena kota itu sejak lama sudah menjadi sentra industri tenun tradisional (gedogan). Pemerintah Kolonial Belanda lalu memfasilitasi sejumlah kecil pengusaha lokal untuk merintis industri tenun “modern” melalui bantuan ATBM dan benang berikut pelatihan. Di antara mereka tersebutla Baginda Pipin Siahaan, H.O. Timbang Siahaan, dan Karl Sianipar. Mereka ini tergolong generasi perintis.

Generasi pengikut muncul tahun 1960-an bersamaan dengan implementasi Politik Benteng, upaya penumbuhan golongan pengusaha pribumi oleh rezim Soekarno. Waktu itu pengusaha tenun mendapat jatah benang dari pemerintah. Salah seorang tokoh utamanya waktu itu adalah T.D. Pardede yang kemudian membangun Pardedetex di Medan. Inilah awal masa keemasan Balige sebagai “kota tenun”. Poros “Balige-Majalaya” dibangun untuk mendukung  transfer iptek pertenunan ke Balige. Puncaknya terjadi tahun 1970-an, ketika setiap hari udara Balige dipenuhi bunyi “suk sak suk sak” dari mesin tenun. Bunyi yang menginspirasi penyebutan pengusaha tenun Balige sebagai “parhasuksak”.

Akhir 1980-an  menjadi awal kejatuhan industri tenun Balige yang berlarut-larut hingga hari ini. Sejak masa itu sampai kini industri tenun Balige sudah dikelola generasi penerus, anak-anak generasi perintis/pengikut. Sebagian malahan tutup begitu saja karena tak ada penerusnya. Jika ada penerus, dan umumnya anak “makan sekolahan/kuliahan”,  “passion”nya tak sekuat orangtua mereka. Antara lain karena apresiasi yang lebih tinggi pada kerja kantoran, khususnya pegawai negeri.

Kini industri tenun Balige   sebenarnya sedang menapaki hari-hari “hidup segan mati tak mau”. Krisis suksesi pengusaha adalah satu masalah. Masalah lain adalah persaingan dengan industri sarung sintetis dan  celana panjang. Sarung  sintetis jelas menjadi pesaing dari segi mutu tenunan. Yang tak terduga adalah dampak celana panjang, terutama “rombengan” ( bekas). Dulu kaum ibu selalu pakai sarung Balige dalam kesehariannya. Sejak 1980-an mereka lebih suka pakai celana panjang, dengan alasan praktis dan murah.  Sarung Balige semakin ditinggalkan perempuan Batak, konsumen utamanya. 

Ada soal penurunan apresiasi   pada sarung Balige di kalangan orang Batak. Mungkin karena kerap diasosiasikan dengan produk murahan, sarung orang miskin, atau sarung “buruh kebon” (Sumatera Timur). Ditambah  kenyataan  sarung Balige miskin inovasi juga.  Sejak jaman penjajahan sampai sekarang bahannya katun yang sama dengan motif kotak-kotak dan garis-garis saja. (Tapi semua sarung memang begitu). Fungsinya juga hanya untuk sarung, kurang bagus untuk bahan kemeja/baju dan lain-lain. 

Sebenarnya ada juga produk tekstil khusus baju,  taplak meja, sprei, atau gorden jendela. Namanya kain “sela”, kain motif kotak-kotak kecil. Dulu kerap juga digunakan sebagai bahan celana kolor untuk anak-anak perempuan. Soal “kolor sela” ini kerap jadi bahan olok-olok pula.

Sejatinya sarung tenun Balige itu layak direvitalisasi sebagai ikon wisata di Toba. Sarung Balige itu sampai sekarang masih menjadi penanda bagi kota pantai itu. Peningkatan mutu tenunan, khususnya mutu benang dan pewarna,  dan inovasi motif-motif baru jelas diperlukan jika sarung Balige hendak diangkat menjadi ikon Balige. Selain itu juga inovasi produk berbahan baku sarung/sela perlu dipikirkan serius, semisal tas, dompet, topi, dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun