Perasaanku sebenarnya sudah mulai tak nyaman. Tapi, "Okelah, mungkin dia lebih nyaman lewat jalur kanan," pikirku menenangkan diri.
Tapi pikiranku keliru. Dalam perjalanan, sambil menyetir sopir itu main ponsel terus sambil menguap berkali-kali. Dia mengantuk. Laju mobil menjadi tersendat-sendat. Sebab pandangan matanya gonta-ganti ke jalan di depannya dan layar ponsel di tangan kanannya.
“Sialan nih sopir,” pikirku. Emosiku mulai panas.
“Salah ambil jalan nih sopir,” bisikku pada istri mulai kesal. “Sabar saja. Ingat, kita mau berdoa ke Gua Maria." Istriku mengingatkan.
“Kita bisa ketinggalan kereta pagi,” kataku. “Sudahlah, gak apa-apa,” tukas istriku.
Tapi perilaku sopir itu tak berubah. Dia tetap sibuk main ponsel sambil menguap. Mobil beringsut lambat. Bukan karena filosofi alon-alon asal kelakon. Tapi karena lakon sopir main ponsel sambil ngantuk di jalur yang padat dengan delapan titik traffic light.
“Brengsek nih sopir,” umpatku dalam hati. Emosiku mulai mendidih.
Setiba di Pasar Kebayoran Lama, setelah putar balik di U Turn arah stasiun, mendadak jalan mancet. “Wah, mandeg, Pak. Ada truk sampah nyumpel. Gimana, ya,” kata sopir itu.
“Gimana! Kamu memang sudah salah ambil jalan dari tadi!” Habis sabarku, meletup emosiku. Marah!
“Bapak biasanya lewat mana?” tanya sopir itu tanpa rasa sesal. Astaga! Bertanya kok pada penumpang yang sedang emosi. Lagi pula yang pilih jalan dia. Pas kena masalah, kenapa aku yang ditanya. Enak aja. Pikir sendirilah!
Singkat cerita, masih dengan emosi panas, istriku dan aku tiba juga di stasiun. Itupun setelah memutar lalu diturunkan di titik yang tak semestinya. Tersebab masih jengkel, jangankan memberi uang tip, sekadar ucapan terima kasih pun tak kusampaikan pada sopir itu.