Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Artikel Utama

Padi Hibrida, Solusi Ketahanan Pangan Kita

13 Januari 2023   14:48 Diperbarui: 14 Januari 2023   02:35 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hamparan padi menguning siap panen di Suksmandi, Subang (Dokpri)

Komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait  jalan menuju ketahanan pangan berbasis beras telah mengalami perubahan signifikan.  

Pada periode pertama pemerintahannya (2014-2019), Jokowi menekankan kemandirian petani dalam produksi benih. Implikasinya, produksi beras didasarkan pada benih padi inbrida.

Tapi memasuki periode kedua (2019-2024), seiring fluktuasi produksi beras yang berakibat impor, Jokowi berkomitmen mendorong transisi ke pertanian padi hibrida.  Padi hibrida dianggap solusi peningkatan produksi beras nasional.

Perubahan komitmen itu logis. Indonesia dan dunia memang sedang menghadapi kendala besar dalam produksi pangan menuju 2050.  

Ada empat kendala tak terelakkan. Keterbatasan lahan, keterbatasan air irigasi, kelangkaan sumberdaya takterbarukan (implikasi konversi pangan ke bio-energy), dan perubahan iklim global.

Tanpa langkah transisi tadi, Indonesia berisiko mengalami produksi/ketersedian pangan rendah. Selanjutnya, kerawanan bahkan krisis pangan.  

Penurunan Laju Kenaikan Produktivitas  

Risiko kerawanan pangan sudah terindikasi dari tren penurunan laju kenaikan produktivitas padi nasional tahun 1975-2020. 

Dalam periode 1975-1990 rerata laju kenaikan produktivitas tercatat 3.28% per tahun.  Angka itu turun drastis menjadi 0.79% dalam periode 1991-2010 dan menjadi 0.25% untuk periode 2011-2020.

Penurunan itu terjadi  karena, pertama, penggunaan varietas unggul benih (VUB) padi inbrida bersertifikat stagnan pada angka 50% dan didominasi VUB "lama". Setengahnya lagi varietas lokal produktivitas rendah.  

Kedua, diversitas genetik padi inbrida terbatas sehingga peningkatan potensi hasilnya sudah sangat sulit.  

Ketiga, penurunan kualitas budidaya akibat cekaman abiotik (penurunan mutu lahan, kekeringan, banjir) dan biotik (serangan varian baru hama dan penyakit tanaman).

Di atas  kondisi itu, dapat dibuat proyeksi ketersedian beras Indonesia tahun 2021-2050. 

Asumsinya, luas sawah baku 7.4 juta hektar dan luas panen  11.1 juta ha/tahun (IP 1.5) konstan.  Produktivitas awal 5.14 ton/ha (2021). Laju kenaikan produktivitas 0.25% per tahun sehingga produktivitas akhir 5.53 ton/ha (2050).  

Hasilnya produksi padi 2050 adalah 61.4 juta ton GKG atau setara beras 39.3 juta ton. Ditaksir jumlah penduduk 330.9 juta jiwa. Dengan asumsi konsumsi beras per kapita 124 kg/tahun, maka total konsumsi beras adalah 41.0 juta ton. Terjadi defisit 1.7 juta ton.  

Ukuran swasembada pangan FAO (1999), yaitu produksi domestik 90% kebutuhan domestik, lebih longgar. Indonesia tahun 2050 sudah terhitung swasembada beras pada angka produksi 36.9 juta ton atau defisit 4.1 juta ton.  

Tapi defisit itu harus ditutup dengan impor. Seperti tahun 2022 ketika Bulog mengimpor beras 200,000 ton. Padahal Indonesia swasembada beras pada angka produksi 31.3 juta ton.

Benih/bibit padi hibrida, solusi peningkatan produksi beras (Dokpri)
Benih/bibit padi hibrida, solusi peningkatan produksi beras (Dokpri)

Padi Hibrida sebagai Solusi

Proyeksi di atas terlalu optimis.  Tidak memperhitungkan tren penurunan luas sawah akibat konversi peruntukan lahan.

Berdasar data tren konversi sawah 2013-2015 di 9 provinsi sentra padi, riset Mulyani dkk. (2016) memperkirakan luas baku sawah 8.1 juta ha (2015) akan menyusut jadi 6.0 juta ha tahun 2045.

Jika angka 6.0 juta ha itu bertahan sampai 2050, maka luas panen (IP 1.5) adalah 9.0 juta ha.  Sehingga produksi padi adalah 49.8 juta ton GKP atau setara beras 31.9 juta ton. Artinya defisit 9.1 juta ton, sebab kebutuhan konsumsi  41.0 juta ton.  

Berarti produksi domestik hanya 77.8% dari kebutuhan domestik.  Jauh di bawah garis ketahanan pangan (90%). Harus impor untuk mencegah rawan pangan.  

Tapi produksi pangan di semua negara produsen pangan dunia juga menghadapi empat kendala di atas. 

Produksi terbatas sehinga tiap negara cenderung menyimpan beras untuk kebutuhan domestiknya.  Impor beras tidak akan mudah sekalipun dana tersedia.  

Karena itu sebuah solusi strategis diperlukan sebagai solusi peningkatan produktivitas domestik. 

Tantangannya, peningkatan produktivitas/ produksi beras di bawah tekanan penyusutan luas baku sawah.

Solusi itu adalah VUB padi hibrida.  Potensi produktivitasnya bisa sampai dua kali lipat produktivitas padi inbrida.  Padi hibrida Xiang Liangyou 900 rakitan Yuan Longping di Cina bisa mencapai produktivitas 17.2 ton/ha.  

Di Indonesia, berdasar kinerja 25 varietas, diketahui rata-rata produktivitas riil padi hibrida di tingkat petani adalah 8.53 ton GKG/ha.  Itu 63% di atas rata-rata produktivitas nasional tahun 2022 (5,23 ton). 

Cina berada di garis depan dalam inovasi dan adopsi padi hibrida sebagai solusi pangan. Areal tanam padi hibrida Cina mencapai 60 persen.  

Selanjutnya adalah Thailand (52%), Vietnam (36%), Pakistan (30%), Myanmar (10%), dan Bangladesh (9%).

Indonesia jauh tertinggal.  Sempat mencapai porsi luas tanam 5.2 persen tahun 2009, selanjutnya merosot terus hingga ke bawah angka 0.5% sejak 2017. 

Jumlah varietas yang beredar di Indonesia juga hanya 10 varietas. Padahal sepanjang 2001-2020 Kementan sudah merilis 108 VUB padi hibrida.  

Kapasitas produksi domestik  benih padi hibrida di Indonesia kini 2,300 ton/tahun. Bisa menutup luas tanam 153,000 ha atau 1.34% dari luas tanam nasional.  

Sayangnya, kapasitas itu tak pernah lagi terpenuhi sejak 2014.

Menuju ketahanan pangan nasional (Dokpri)
Menuju ketahanan pangan nasional (Dokpri)

Transisi Pertanian Padi Nasional

Jika tidak ada kebijakan dan program transisi dari padi inbrida ke hibrida, maka dikhawatirkan Indonesia mengalami rawan pangan tahun 2040-an.  

Minimal  diperlukan transisi bertahap dari 100% padi hibrida (2022) menjadi 50% hibrida dan 50% inbrida (2050) akan menjamin ketahanan pangan.

Target tahun 2050, areal tanam padi hibrida 50% dari total luas panen 9.0 juta ha tahun, pada areal baku sawah 6.0 juta ha.  

Dengan angka produktivitas padi hibrida 10 ton GKG/ha tahun 2025,  maka areal 4.5 juta ha akan menghasilkan 45 juta ton GKG atau setara beras 28.8 juta ton.  

Lalu dari 4.5 juta ha padi inbrida dihasilkan 23.5 juta ton GKP atau setara beras  15.1 juta ton.  

Dengan demikian total produksi beras adalah 43.9 juta ton. Surplus 2.9 juta ton dari kebutuhan konsumsi Indonesia (41 juta ton) tahun 2050.  

Angka produksi beras 43.9 atau 45 juta ton itu bisa ditetapkan sebagai angka psikologis ketahanan pangan nasional tahun 2045 (100 tahun merdeka) sampai 2050.  

Target itu tak mustahil tercapai. Pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, sudah memiliki komitmen transisi ke pertanian padi hibrida sebagai solusi ketahanan pangan.  

Tinggal kini menunggu langkah kongkrit Bappenas sebagai perencana dan Kementan sebagai pelaksana mendayagunakan potensi stakeholder padi hibrida nasional.. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun