Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perubahan Sosial di Balik Revolusi Lontong dan Ketupat

20 Juli 2022   17:30 Diperbarui: 20 Juli 2022   19:02 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lontong dan ketupat (Foto: detikfood.com via detik.com)

Saat kamu menyantap sepiring lontong sayur, atau sepiring kupat tahu, atau sepiring apa saja makanan yang ada lontong atau ketupatnya, apakah pernah tahu adanya perubahan sosial di balik lontong dan ketupat itu?

Tentu saja kamu tidak tahu, bahkan mungkin tak mau tahu.  Hanya tahu atau mau tahu seenak apa sepiring lontong sayur, kupat tahu, atau lontong-lontongan dan kupat-kupatan lainnya.

Kamu hanya tahu bahwa aslinya dari dulu lontong dibungkus dengan daun pisang dan ketupat dibungkus dengan anyaman janur. Sudah, itu saja. 

Tapi eksistensi lontong dan ketupat sebenarnya tak sesederhana yang terlihat jika kita menelisiknya dengan kacamata Ilmu Sosiologi. Lontong dan ketupat itu sejatinya adalah indikator perubahan sosial.

Kamu tak perlu tanya, saya akan coba beri jawaban.

Begini.  Kamu tahu kan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memasak lontong dan ketupat?  Dari ahlinya saya mendapat informasi proses "lontongisasi" (pe-lontong-an)  aslinya bisa makan waktu 3-4 jam. Sedangkan proses "ketupatisasi" (pengupatan) bisa makan waktu 4-5 jam.  Itu cara yang asli, cara tradisional.

Karena begitu lamanya, maka sampai tahun 1990-an di daerah pedesaan, saat mau merayakan Lebaran kaum ibu biasanya membuat lontong atau ketupat secara gotong-royong.  Ibu-ibu sedusun misalnya memasak lontong atau ketupat rame-rame dalam satu drum besar.  Setelah matang lalu dibagi-bagi  sesuai dengan kontribusi berasnya.

Setidaknya hal itu terjadi di desa asal ibu mertua Poltak (pseudonim)  di Kuningan.  Dan ibu mertua Poltak jelas bukan seorang pembohong.  

Dengan begitu, kalau kita makan lontong/ketupat opor ayam tahun 1990-an di pedesaan, maka sangat besar kemungkinan lontong/ketupat itu adalah hasil gotongroyong kaum ibu.  Itu adalah produk dari suatu komunitas yang masih guyub, yang masih kental dengan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong.

Lalu bagaimana dengan lontong-lontong dan ketupat-ketupat era millenium, atau katakanlah tahun 2020-an ini?  Masihkah lontong dan ketupat Lebaran tetap menjadi buah gotong-royong dalam komunitas desa yang guyub?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun