Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Kamu adalah Golongan Miskin di Kompasiana

24 Februari 2022   06:54 Diperbarui: 24 Februari 2022   11:26 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari kompasiana.com

"Tekor, Yes. Sohor, No." - Felix MacKenthir, 2022

Saat berkendara keluar dari Gang Sapi Jakarta kemarin pagi, mata Engkong Felix tertumbuk pada pantat merah truk angkutan gas yang merayap di depan.  Bak truk itu sarat muatan tabung LPG ukuran 3 kg, tabung melon hijau.

Tertulis dengan huruf kapital warna kuning di situ, "LPG 3Kg SUBSIDI UNTUK MASYARAKAT MISKIN".  Tulisan itu mengingatkan Engkong pada ujaran Indra Kenz, affiliator binomo yang "mendadak kaya", bahwa "miskin itu privilege".

Engkong tahu itu adalah ujaran arogan dari seseorang yang dulu "miskin". Tapi kemudian mendadak "kaya",  berkat kerugian investor tanggung  yang pintar-pintar bodoh.

Indra jelas salah mengartikan privilege dalam kasusnya, yaitu sebagai "kesempatan untuk kerja keras".  Sebab jika begitu, maka bisa juga dibilang "kaya  itu privilege", kesempatan untuk kerja lebih keras lagi"


Tapi kalau dipikir-pikir, ada juga sisi kebenaran dalam ujaran Si Indra. Khususnya bila kita bicara tentang subsidi bagi warga miskin.  Subsidi semacam itu tergolong privilege untuk orang miskin.

Karena kamu miskin, maka kamu mendapat sejumlah  privilege.  Misalnya berhak mendapat LPG 3 kg pada harga subsidi.  Berhak mendapat bansos pandemi Covid-19.  Berhak mendapat KJP, kalau kamu orang  Jakarta. 

Engkong Felix jadi ingat saru peristiwa lawas. Saat pertama kali tabung gas melon dibagikan untuk warga miskin di RT Gang Sapi Jakarta.   Ketua RT menawarkan satu tabung kepada Engkong. Tentu saja, dengan tutur kata halus dan suara lembut, langsung Engkong tolak. Sebab itu hak orang miskin.  

Lagian, tanggunglah. Kalau Engkong mau ambil hak orang miskin, bagusnya jadi menteri sosial saja. Bisa korupsi bansos, bukan? Sudah ada contoh.  Merampok privilege orang miskin itu jangan yang recehanlah.

Tapi Engong gak mikir begitu, sih. Engkong cuma membatin, kalau terima tabung melon itu, berarti mengakui diri miskin.  

Sekalipun itu fakta, Engkong tak sudilah pamer kemiskinan kepada Ketua RT.  Soalnya Engkong ogah kehilangan privilege sebagai "orang kaya" Gang Sapi. Privilege sebagai warga yang pertama dimintai sumbangan untuk acara RT. Soalnya rumah Engkong dan Pak RT bersebelahan.

Prinsip Engkong Felix, tekor gak apalah, yang penting gak sohor sebagai orang miskin. Itulah penerapan hukum "Tekor Yes, Sohor No" di lingkungan RT.

Anehkah orang miskin tetap nyumbang walau hidupnya tekor? Gak juga. Itu kelumrahan dalam ekonomi kapitalistik.

Antropolog Joel S. Kahn (2007) misalnya sudah mencatat gejala itu di pedesaan Minangkabau. Orang miskin membawa bekal makan siang sendiri untuk bisa kerja di perusahaan industri kerajinan lokal. Itu artinya buruh miskin mensubsidi perusahaan yang tak mampu memberi gaji cukup untuknya. [1]

Gejala semacam itu, oleh James C. Scott (1976) dusebut sebagai etika subsistensi. Si miskin memberi pada si kaya, demi kelanggengan sumber nafkah yang tak memadai, hanya demi subsistensi. [2]

Misalnya buruhtani miskin membantu gratisan di hajatan petani kaya, majikannya. Hanya agar tetap diterima memburuh di sawah majikannya itu. 

Begitulah  cara kerja etika subsistensi si miskin.

Kamu, para kompasianer, boleh geleng-geleng kepala tak habis pikir. Tapi, dengan nada prihatin, Engkong harus bilang,  gelengan kepala itu berlaku juga bagimu selaku kompasianer? 

Lho, kok iso, tho. Ya, iso ae. Untuk kamu apa sih yang gak bisa, beib.  Tanpa sadar, sebenarnya kamu juga  menjalankan etika subsistensi si miskin di Kompasiana.

Indikasinya simpel saja. Coba hitung total biaya per bulan yang kamu keluarkan untuk produksi semua artikelmu di Kompasiana. Lalu kurangkan itu dari perolehan K-Rewards per bulan. Jangan bilang Engkong kenthir jika kamu gak tekor.

Tekor, kan? Itu pasti. Sohor? Huh, apalagi. Terbukti, prinsipmu di Kompasiana, "tekor yes sohor no".

Sekarang kamu mengerti, kan, mengapa Admin K secara perorangan malas nulis artikel di Kompasiana? Sebab mereka gak sohor. Jadi ngapain pula nyari tekor lagi.

Tapi kamu, kenapa masih tetap setia menulis untuk Kompasiana? Karena kamu masih mengharap sereceh K-Rewards. Juga mengharap sedikit apresiasi dari Admin Kompasiana, majikanmu, dalam bentuk label AU pada artikelmu.  

Itulah etika subsistensi si miskin. Mayoritas kompasianer menerapkannya di Kompasiana. Jadi, berlebihankah jika Engkong bilang mayoritas kompasianer adalah golongan miskin?

Mungkin kamu akan menyangkal, "Ah, tidak, aku menulis di Kompasiana cuma amal, kok." Baiklah. Tapi bukankah buruhtani miskin yang membantu gratisan di pesta petani kaya itu juga menyebut alasan amal?

Jadi, ingatlah selalu. Kompasiana "Rumah Kita Bersama" ini bisa tetap berdiri berkat subsidi mayoritas kompasianer golongan miskin. Karena itu,  tidakkah sepantasnya kamu bangga menjadi orang miskin di sini? (eFTe)

 

 Endnotes:

[1] Joel S. Kahn, Minangkabau Social Formation, Cambridge University Press, 2007.

[2] James C. Scoot, The Moral Economy of the Peasant, Yale University Press, 1976.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun