Begitulah. Don Quixote de la Kompasiana tetiba merasa diri jadi buruh industri konten yang harus menaklukkan hati minimal 3,000 Kompasianer untuk dikonversi menjadi 3,000 upv. Lihatlah, keluhnya, Kompasianer telah berubah menjadi bilangan, persis nasib manusia dalam industri kapitalis.
Don Quixote mendadak dirinya menjadi ksatria konyol yang pergi menaklukkan "musuh khayal" (3,000 Kompasianer) dalam balutan "baju zirah" (kaos oblong) dan "ketopong" (kacamata plus), bersenjatakan "tombak tua" (hape jadul) di atas "kuda tua dan lelah" (kursi reyot).Â
Tapi, faktanya, dia tak lebih dari buruh industri konten di Kompasiana yang semakin kapitalistik, semakin mewujud medmas "Kompas Alternatif".Â
"Buruh sedunia, bersatulah!" teriak Karl Marx dari balik jenggot lebatnya.
"Sorimek," tolak Don Quixote de la Kompasiana. "Gue bukan buruh, gue mardijker kenthir!" Don Quixote memproklamirkan perlawanannya.
Don Quixote ingin menjadi seseorang yang ikut membentuk Kompasiana. Bukan seseorang yang dibentuk Kompasiana.
Lagi pula, "Gak tega mesti menaklukkan hati 3,000 Kompasianer. Biar itu jadi urusan Don Juan de la Makasar," kata Don Quixote, dalam sanubari.
Ya, Don Quixote de la Kompasiana menolak jadi buruh industri konten yang diupah receh dengan K-Rewards di "perusahaan" Kompasiana. Itu sikap pribadi Don Quixote. Kamu jangan ikut!
Don Quixote memilih tetap jadi manusia kenthir, mardijker anarkis, yang menulis apa saja dengan cara apa saja di Kompasiana, seturut rambu logika, etika, dan estetika.Â
Ya, logika, etika, dan estetika. Bukan tren, viral, dan cuan. (eFTe)
Â