Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Admin Kompasiana Diskriminatif?

16 November 2021   22:07 Diperbarui: 17 November 2021   05:40 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari kompasiana.com

"Kritik adalah pujian yang pahit." -Felix Tani

Kompasiana bukan lagi rumah kita bersama. Kalau Admin K diskriminatif sejak dari pikiran. Lalu, kemudian, terwujud dalam tindakan.

Tapi apakah Admin K diskriminatif? Sudilah menerimanya sebagai hipotesis yang mesti dibuktikan. Saya akan ulik program K-Rewards dan Topik Pilihan (Topil) untuk pembuktiannya.

Sudah tahu keputusan terakhir (Oktober 2021) dari Admin K terkait K-Rewards, bukan? Katanya,  K-Rewards akan diprioritaskan untuk artikel Topil. 

Apa implikasi keputusan itu? Empat hal dapat dikatakan di sini. 

Pertama, Admin K telah menggiring Kompasianer untuk menulis artikel sesuai minat dan selera bisnis Admin K. Pertimbangannya pasti manfaat ekonomi. Mungkin, berdasar SEO, topil itu akan menjaring banyak views. Banyak views, maka banyak iklan dan, karena itu, banyak cuan masuk.

Kedua, Admin K telah menggunakan program K-Rewards sebagai instrumen insentif untuk menggiring Kompasianer menulis artikel sesuai topil. Jika menulis sesuai topil, imbalannya besar. Di luar topil, imbalannya kecil. 

Ketiga, berdasarkan dua implikasi di atas, Admin K telah bertindak diskriminatif. Tidak netral, tapi pilih kasih. Kompasianer yang patuh pada kepentingan Admin K (=voice?) akan mendapat K-Rewards besar. Sebaliknya, Kompasianer yang mbalelo (=noise?) dapat imbalan kecil atau bahkan zonk.

Keempat, berdasarkan implikasi ketiga, maka Admin K telah mengingkari nilai demokrasi yang terkandung dalam tagline Kompasiana Rumah Kita Bersama".  Dengan cara itu, K bukan lagi "rumah kita bersama" (common home). Tapi sudah berubah menjadi "perusahaan privat" (private business). Kompasianer bukan lagi tuan yang otonom. Tapi sudah menjadi "buruh" bagi "majikan" bernama Admin K.

Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab Admin K terkait perlakuan terindikasi diskriminatif itu.

Pertama, apakah K akan menjadi besar jika Kompasianer diposisikan sebagai "buruh" yang bekerja (menulis) sesuai "program bisnis konten" yang dibuat Admin K secara sepihak?  

Kedua, apakah mayoritas artikel non-topil yang ditulis Kompasianer "berdaulat" (tak mengabdi pada topil) tergolong noise yang akan membuat K kehilangan pengunjung?

Jika jawaban kedua pertanyaan itu "Ya", maka silahkan lanjutkan program terindikasi diskriminatif itu.  Bahwa K akan ditinggal Kompasianer yang ogah didikte, ya, biarkan saja. Patah tumbuh hilang berganti, bukan?

Tapi jika jawaban kedua pertanyaan itu "Tidak", lalu mengapa Admin K tidak menghargai mayoritas Kompasianer yang memilih merdeka dalam menulis? Apakah mereka dianggap sampah yang tak ada perannya bagi pertumbuhan K, kecuali sebagai polusi?

Saya menulis artikel ini sebagai pembelaan untuk kami, Kompasianer yang mendedikasikan diri menulis fiksi dan humor. Itu dua jenis tulisan yang susah, kalau tak mau bilang, ogah tunduk pada paksaan atau tekanan topil.

Jika Admin K tidak suka pada artikel ini, maka saya hanya bisa katakan "Kritik adalah pujian yang pahit." Itulah cara saya, Don Quixote de la Kompasiana, mencintai Admin K dan K. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun