Maka selama dua bulan ini, Bang Jaka konsisten tinggal di rumah. Dia beraktivitas dari rumah. Ibadah, kerja, silaturahim, dan belanja daring.
Sepanjang hari kini dia bertemu istrinya. Kalau dihitung per jam tatap muka, jam pertemuan dengan istrinya selama 2 bulan terakhir lebih lama ketimbang selama 2 tahun perkawinannya.
Tinggal di rumah saja sudah pasti banyak masalah. Â Mode aktivitas daring memang efisien. Soal efektivitas, bisa diperdebatkan. Bang Jaka beli beras, kutuan; beli ikan basah, gak segar lagi; beli daging, juga gak segar lagi. Yang gituan efektif gak, sih.Â
Masalah utama warga Jakarta sejak  PPKM Darurat adalah kelangkaan oksigen, obat-obatan, dan tempat tudur rumahsakit. Tapu anehlah Bang Jaka. Bukan itu masalah genting baginya kini. Â
Masalah terbesar bagi Bang Jaka kini adalah kelangkaan uang receh. Dia sangat memerlukan uang pecahan Rp 5,000 untuk tip. Tip untuk Mas/Mbak Ojol yang mengantar pesanan sembako, makanan, dan barang-barang kebutuhan lain. Juga tip untuk Mas Ekspedisi yang mengambil paket ke rumah.
"Ada uang limaribu, gak?" Tanya Bang Jaka kepada istrinya.
"Gak ada. Limapuluh ribu, mau?"
"Gak. Maunya limaribu!"
PPKM Darurat dan PPKM Level-4 telah mengubah nilai uang di rumah Bang Jaka. Uang receh pecahan Rp 5,000 lebih penting dibanding uang pecahan  Rp 50,000.Bang Jaka kini gak punya uang pecahan Rp 5,000 barang selembar pun. Krisis, tragis.
"Oii! Masuk!Ada petugas kelurahan!" Terdengar teriakan peringatan Bang Oji di mulut gang. Warga yang tadinya bergosip di depan rumah, langsung pada masuk. Nanti, kalau petugas sudah pergi, ya, keluar lagi. Gosip lagi.
Begitulah Gang Sapi Jakarta. Warganya percaya ada  pandemi Covid-19. Juga tahu prokes Covid-19. Tapi hanya sebagian warga yang patuh. Lainnya ogah-ogahan prokes.