Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Orang Batak Minum Tuak Bukan untuk Mabuk

4 Maret 2021   14:21 Diperbarui: 4 Maret 2021   20:17 2774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi paragat, penyadap tuak nira di Tanah Batak (Foto: batakgaul.com)

Mabuk itu dungu. Maksud saya mabuk minuman beralkohol (minol). Setiap orang tahu minuman beralkohol itu, pada dosis tertentu sesuai kadar alkoholnya, berdampak memabukkan. Menghilangkan kesadaran, kewarasan. Bahkan bisa menghilangkan nyawa. Sudah tahu dampaknya begitu, masih ngeyel juga mabuk, ya, kesimpulannya "Dungu!"

Orang Batak paling pantang dibilang "dungu", lalaen dalam bahasa suku itu. Orang naoto, bodoh, masih bisa diajari. Tapi manusia lalaen -- yang sebenarnya punya otak tapi malas memakainya -- sukar diajari. Lubang kupingnya tembus dari kiri ke kanan. Karena itu ajar atau nasihat seperti angin lalu saja dari gorong-gorong. 

Kecerdasan lokal orang Batak tak pernah menempatkan tuak nira, minol khas sana, sebagai sarana mabuk atau mabuk-mabukan. Bagi orang Batak, aslinya tuak adalah minuman ramah lingkungan untuk kegiatan adat. Bisa disebut sebagai minuman adat.

***

Tuak disebut ramah lingkungan karena sepenuhnya produk alami. Diproduksi secara biologis, bukan lewat industri minuman, dengan cara menyadapnya langsung dari tangkai kembang nira.

Tak sembarang pula caranya. Penyadap nira, paragat dalam bahasa Batak, wajib menjalankan ritual khusus sebelum dan selama proses maragat, menyadap nira. Dia harus membujuk pohon nira sepenuh hati, agar sudi memberi banyak air nira untuknya. 

Legenda lokal menyebutkan bahwa pohon nira itu adalah transfigurasi dari Si Boru Sorbajati, sosok dewi (putri Dewata Bataraguru) yang turun dari kayangan ke bumi.

Dia menjadi pohon nira karena menolak nikah dengan lelaki cacat yang dijodohkan dengannya. Air nira itu disebut aek, air, Sorbajati, pewujudan air susu perempuan. Karena itu dalam bahasa Batak Toba, nira disebut bagot, payudara perempuan. 

Karena pohon nira adalah perempuan, berarti boru dalam struktur relasi sosial Batak, maka berlaku nilai elek marboru, "kasih pada anak perempuan." Begitulah, pohon nira harus dielek, dibujuk, agar sudi memberikan banyak air nira untuk Sang Paragat. 

Pohon nira dibujuk paragat dengan menyenandungkan syair rayuan. Begini syairnya, "O Boru Sorbajati siboru nauli, boru na so ra jadi nauli diagati. Unang sai maila ho tumatangis, tangishon ma sude arsak ni rohami.” Oh, Boru Sorbajati gadis nan molek, gadis yang tak kunjung cantik disadap. Janganlah malu menangis, tangiskanlah semua susah hatimu."Jadi, tuak atau air nira itu dipersepsikan juga sebagai air mata Boru Sorbajati.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun