Harusnya, bagi saya juga hal itu tak jadi soal. Sebab mereka adalah peneliti senior kelas dunia. Semua sudah sohor dengan publikasi internasional.
Maksudku, saya memandang mereka tinggi bukan karena mereka WNA Belanda, tapi karena mereka punya kualifikasi kelas dunia di bidang riset sosial. Wajarlah bila saya menempatkan diri sebagai "murid" (bawahan) yang siap belajar riset kepada mereka sebagai "guru" (atasan). Konteksnya di sini adalah kegiatan riset sambil belajar riset.
Kenyataannya bukan perilaku interaksi "atasan-bawahan" yang saya alami, melainkan interaksi dalam konteks "pembagian kerja" riset. Tugasku adalah pelaksanaan kegiatan riset yang menjadi tanggung jawabku sebaik mungkin.
Proses risetnya harus baik dan benar, termasuk hasilnya dalam bentuk laporan riset, juga harus baik dan benar. Baik dan benar di sini sesuai dengan kaidah dan ukuran yang berlaku dalam suatu riset sosial ilmiah.
Konteks "pembagian kerja" itu menyebabkan interaksi jadi bersifat demokratis. Di situ tak dilihat ras, status, dan gelar akademik. Interaksi sepenuhnya fokus pada perdebatan akademis terkait metode dan hasil riset. Kedua pihak saling belajar satu sama lain.
Jika kemudian saya menyadari diri lebih "rendah" dari para peneliti senior ISS, maka itu bukan karena mereka WNA Belanda. Tapi karena mereka punya kualifikasi yang jauh lebih tinggi dibanding seorang pemula seperti saya.
Saya menghargai mereka, juga mengagumi, karena status sosialnya yang bersifat capaian (achieved status). Bagi saya, itulah kualitas peneliti yang harus dikejar.
***
Dalam konteks kerja sama bisnis, struktur interaksi bisa subordinasi, misalnya "kreditur-debitur", bisa pula egaliter, misalnya "kemitraan bisnis." Perilaku interaksinya karena itu, niscaya beda pula.
Sebagai contoh, ada yang ingat peristiwa 15 Januari 1998 di Jakarta? Waktu itu, dalam rangka solusi krisis moneter, Presiden Soeharto (debitur) membungkuk menandatangani LoI pinjaman dana kepada IMF, disaksikan Direktur IMF Michel Camdessus (kreditur) sambil berdiri bersedekap tangan.
Sepanjang 2020 lalu, saya diminta sebuah BUMN untuk membantu penjajakan investasi agribisnis oleh sebuah perusahaan agribisnis swasta dari Uni Emirat Arab. Itu berarti menarik Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment) ke Indonesia.Â