Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Matinya Seorang Profesor

11 September 2020   11:46 Diperbarui: 11 September 2020   16:01 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi dari 123rf.com

Pertama, HS mengedepankan argumen sesat “karena otoritas” (appeal to authority) saat mengatakan “Saya guru besar …”  RG yang khatam soal aneka sesat pikir langsung sinikal menyambar, “Mudah-mudahan isi kepalamu juga besar.”  

Masih ditukas HS pula  dengan “tikaman” baru pada diri sendiri, “Minimal saya profesor, Anda belum tentu.”  

HS gagal mengenal RG, lawan debatnya. RG adalah tipe orang yang mengharamkan kebenaran yang berpijak pada otoritas. Entah itu otoritas yang diklaim melekat pada gelar dan jabatan akademik atau pun pada jabatan publik.  

Itu sebabnya RG kerap mengkritik pernyataan Presiden Jokowi.  Baginya, pernyataan Jokowi tidak dengan sendirinya benar hanya karena dia mengujarkannya dari posisi sebagai Presiden RI.

RG hanya percaya pada kebenaran yang dihasilkan melalui penerapan kaidah-kaidah logika.  Ketika dia menyindir, “Mudah-mudahkan isi kepalamu juga besar”, dia sebenarnya sedang mempertanyakan kapasitas HS dalam berpikir logis.

Mengapa layak dipertanyakan? Sebab apabila seseorang mengalasi argumennya dengan ujaran “Saya guru besar …”, maka saat itu dia telah sesat pikir. Kapasitasnya dalam berpikir logis adalah nol. Dengan kata lain, “bunuh diri” di depan seorang pakar logika.


Kedua, HS pada kesempatan pertama juga telah melontarkan argumen “manusia jerami” (strawman argument) atau “orang-orangan sawah”  dengan mengungkap fakta dia pernah memanfaatkan jasa ustad terkenal tanpa membayar sepeser pun.

Jika RG tersenyum sinis mendengar ujaran HS, maka itu karena dia tahu argumen “manusia jerami” itu tergolong sesat pikir. Di situ HS telah menciptakan isu (manusia jerami) sendiri (ustad tak dibayar), mengupasnya tuntas (menghajar manusia jerami bikinan sendiri), lalu keluar dengan kesimpulan “Kamu salah dan kalah RG.”

Apanya yang salah dan kalah? RG di awal debat tidak lagi mempersoalkan jumlah dana yang dibelanjakan pemerintah untuk membayar influencer.  RG justru melontarkan isu substantif  bahwa komunikasi politik pemerintah tidak efektif maka perlu menggunakan jasa influencer.

Argumen HS tentang “ustad tidak dibayar” jelas tidak ada relevansinya dengan argumen “komunikasi politik pemerintah tidak efektif maka perlu menggunakan jasa influencer”.  

Seharusnya, sesuai bidang keahliannya,  untuk mematahkan argumen RG maka HS cukup membuktikan bahwa “komunikasi politik pemerintah efektif”. Bukan mengatakan “saya guru besar” dan “saya pakai jasa ustad tanpa bayar”. Itu namanya sesat logika atau “bunuh diri” pada tataran pemikiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun