Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tak Ada "Normal Baru" di Gang Sapi Jakarta

8 Juni 2020   15:47 Diperbarui: 12 Juni 2020   02:24 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gang Sapi that never sleep (Dokpri)

Bagaimana mau ada "normal baru"? "Revolusi" yang menyingkirkan "normal lama" tak pernah ada. Itu kalau merujuk struktur revolusi menurut T. Kuhn.

Tak banyak yang berubah di Gang Sapi, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Sejak hari pengumuman Indonesia terpapar Covid-19 sampai pemberlakukan PSBB hingga perpanjangan sekarang.

Ibu-ibu tetap kumpul-kumpul, bergosip dalam jarak rapat. Ya, sudah pasti gosip perlu jarak dekat. Sebab volume suara diperkecil. Kalau ngomong jauh-jauhan, saling teriak nyablak, itu bukan gosip lagi tapi bertengkar.

Banyak yang digosipkan. Tapi isu paling hot sekarang adalah bantuan sosial. Kelompok gosip adalah tempat kepo terbaik. Silap gosip, silap bantuan. Gak kebagian.

Bergosip tanpa masker pula, itu pasti. Kalau pakai masker, kan nggak seru. Bergosip itu harus ekpresif. Cibiran, senyum sinis, bibir manyun harus tampak diekspresikan. Kalau ketutup masker, kan nggak seru.

Habis ibu-ibu, terbit giliran bapak-bapak. Heran, bapak-bapak Gang Sapi ternyata doyan gosip juga.

Dulu tidak sekerap sekarang. Sejak Jokowi minta warga "di rumah aja", bapak-bapak Gang Sapi mendadak rajin gosip.

Macam-macam digosipkan. Mulai dari Covid-19, mudik, PSBB, sampai bansos.Untungnya pandemi Covid-19, katanya, "Kita dapat jatah bansos." Ampun, deh.

Pakai maskerkah bapak-bapak itu? Lebih kerap tidak. Atau pakai masker, tapi cuma digantungkan di sebelah telinga. Atau ditarik ke bawah dagu, atau ke jidat. Entah apa yang dimaskeri di situ.

Seorang bapak berdalih, tidak mau pakai masker lagi. Katanya lama-lama kupingnya jadi tambah caplang ketarik tali masker. Kata temannya, itu hoaks, sebab kupingnya sudah caplang sejak lahir.

Anak-anak dan para remaja, nah, ini yang paling sudah di atur. Tetap saja berkerumun di mulut gang, main kejar-kejaran, begadang sambil ngobrol dan merokok di depan gerbang rumah.

Mereka tidak peduli social distancing dan physical distancing, karena gak ngerti Bahasa Inggris.

Mereka ngertinya "jaga jarak". Dan itu dipraktikkan saat naik motor di jalan raya. Tak jaga jarak, muke lu nyium pantat besi truk matrial.

Ibadah memang sempat di rumah masing-masing. Tapi lama-lama orang kembali ke masjid juga. Katanya sih di dalam mereka jaga jarak. Mudah-mudahan disiplin, agar selamat.

Jika ada yang bau-bau "normal baru" di Gang Sapi, maka itulah warung bakso di mulut gang. Si Abang Bakso merentangkan tali rafia di pintu warung, sehingga pelanggan hanya boleh berkerumun antri "pesan bungkus" di depan pintu.

Warteg? Business as usual. Tetap melayani pelanggan makan di dalam warung. Konsumen duduk makan jauh-jauhan. Kalau lagi gak ramai.

Di Gang Sapi memang belum ada PDP dan ODP. Mudah-mudahan seterusnya demikian. Semoga warga gang ini dilindungi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Jika melihat kehidupan sehari-hari warga gang ini, yang hampir sepenuhnya tak sesuai protokol pencegahan Covid-19, suatu keajaiban bahwa tak ada warga yang terpapar corona.

Padahal Gang Sapi ini berada di "kelurahan merah", menurut peta persebaran pandemi Covid-19 Provinsi DKI Jakarta. Aplikasi PeduliLindungi selalu mengingatkan "Anda berada di Zona Merah". So, what? "Kami tinggal di sini, bung!"

Jadi, ketika Pak Jokowi bilang Indonesia bersiap memasuki masa "normal baru", tak ada relevansinya itu dengan kondisi Gang Sapi. Di sini "normal lama" masih berlaku sampai kini.

Kenapa? Karena tidak ada "revolusi Covid-19" di gang ini: tidak ada PDP, tidak ada ODP, dan dengan sendirinya tidak ada korban meninggal dunia lantaran terkena Covid-19.

Gang Sapi ini adalah "enklaf hijau" di Zona Merah Covid-19 Jakarta. Entah bagaimana penjelasannya kok ya bisa seperti itu.

Mungkin karena warga asli Gang Sapi tidak pernah bepergian lebih jauh dari ujung gang.

Juga mungkin karena migran asal Jawa Barat dan Jawa Tengah sudah pulang ke kampung masing-masing dan belum kembali lagi.

Paling jauh warga Gang Sapi, terutama ibu-ibu, belanja kebutuhan sehari-hari ke pasar tradisional. Entah punya keahlian apa mereka, sehingga sampai hari ini masih pada sehat-sehat saja.

Mungkin mentalitas warga Gang Sapi perlu dicontoh juga. Pandemi Covid-19 silahkan datang, PSBB silakan perpanjang, Anies boleh ngomong apa saja, tapi semua itu jangan sampai merampas "kemerdekaan kita".

Hidup gembira adalah kunci sehat. Kegembiraan warga Gang Sapi adalah kumpul-kumpul bergosip.

Semakin gosip, semakin gembira, semakin kebal Covid-19 rupanya. Gang Sapi sepertinya adalah ikon "tetap sehat dan aktif di tengah pandemi."

Ada yang tertarik pindah mukim ke Gang Sapi that never sleep?(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun