Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pak Jokowi, Ibu-ibu Telanjang Menuntut Haknya di The Kaldera Toba

13 September 2019   13:06 Diperbarui: 16 September 2019   06:07 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah ibu dari Sigapiton telanjang menghadang aparat dan buldozer yang akan membuka tanah adat mereka di kawasan The Kaldera Toba, Sibisa, Tobasa (Foto: tribunnews.com/arjuna bakkara)

Kamis 12 September 2019 sejumlah ibu asal huta Sileangleang (marga raja Butarbutar) Bius Raja Paropat Sigapiton melakukan aksi telanjang. Mereka menghadang aparat kepolisian, tentara dan Satpol PP yang mengawal aksi buldozer membuka jalan sepanjang 1.9 km (lebar 8 m) dari spot wisata The Kaldera Nomadic ke Batu Silali. 

Aksi telanjang itu dimaksudkan sebagai protes keras dan untuk menghalangi pembukaan jalan tersebut karena melewati tanah adat dan kuburan warga. Mereka menuntut pengakuan pemerintah dan BPODT terhadap hak milik adat mereka atas tanah itu.  

Jika pengakuan itu sudah diberikan, berikut implikasinya, maka BPODT dipersilahkan menjalankan hak pengelolaan (HPL) yang dipegangnya atas kawasan wisata The Kaldera.  

Sementara itu BPODT sebagai pemegang HPL  kawasan The Kaldera  (387 ha) menganggap kawasan itu sudah "clear and clean", tidak ada tanah adat di situ. BPODT berdalih bahwa tugasnya adalah membangun destinasi wisata The Kaldera.

Klaim tanah adat yang dimajukan warga Bius Raja Paropat Sigapiton atas kawasan itu dianggap urusan pemerintah Tobasa dan Pemerintah Pusat. Tapi pemerintah sendiri menyatakan kawasan The Kaldera bukan tanah adat, tapi tanah kehutanan yang dikuasai negara sejak masa kolonial.

Ancaman dari The Kaldera Toba

Dalam satu artikel pada hari yang sama, "Pak Luhut, Otorita Danau Toba Jangan Merusak Bangunan Sosial Batak Toba" (kompasiana.com,  12/9/2019), saya sejatinya sudah menunjukkan indikasi "perusakan bangunan sosial masyarakat hukum adat Batak", khususnya masyarakat Bius Raja Paropat Sigapiton, oleh BPODT melalui aksi-aksi pembangunan objek fisik wisata di The Kaldera.  

Artikel itu lebih mempertegas kesimpulan saya pada artikel terdahulu, "Tragedi Sigapiton yang Disembunyikan dari Jokowi di Danau Toba" (Kompasiana.com, 3/8/2019).  Di situ saya simpulkan bahwa demi mewujudkan destinasi wisata mewah kelas dunia di The Kaldera, warga Sigapiton telah diusir dari tanah adatnya dan diasingkan dari kultur baru wisata yang sedang direka-cipta BPODT.

Intinya, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan destinasi wisata The Kaldera, BPODT tidak mempertimbangkan integrasi bangunan sosial Batak setempat, yaitu adat huta dan bius (federasi huta).  BPODT tidak perduli bahwa sebagian tanah The Kaldera adalah tanah adat (golat) Bius Raja Paropat Sigapiton sejak sebelum pemerintahan kolonial.  Ditandai adanya sumber air utama (homban) milik bius di sana, kemudian juga tanah makam dan ladang usahatani.

Pembangunan destinasi wisata di situ dikhawatirkan  mengancam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Bius Raja Paropat Sigapiton karena dua hal. Pertama, akan mematikan sumber air untuk irigasi sawah dan konsumsi warga sehingga ekologi budaya sawah yang menjadi inti budaya Sigapiton terancam punah.  Sebuah masyarakat tanpa inti budaya adalah masyarakat yang "mati".

Kedua, masyarakat kehilangan sumber nafkah berupa kebun dan ladang di tanah The Kaldera.  Ini berarti kehadiran destinasi wisata mewah itu justeru memiskinkan sebagian warga Sigapiton. Lalu untuk siapa sebenarnya pembangunan pariwisata itu dilakukan?

Ancaman atas kelangsungan hidup ke depan itulah yang memicu aksi telanjang sejumlah ibu menghadang aparat dan buldozer BPODT yang membuka jalan di atas tanah adat mereka.  Persoalannya di situ, tanah adat sebagai basis  kehormatan mereka dinilai telah diambil dan digarap BPODT. Tidak ada orang Batak yang lebih hina dari orang yang diusir dari tanah adat warisan leluhurnya.  

Telanjang Itu Simbol Protes Keras

Aksi ibu-ibu telanjang itu bukan sebuah aksi irrasional melainkan pernyataan budaya. Itu adalah simbolisasi dari perasaan terhina oleh BPODT. Mereka sedang meneriakkan protes keras: "Kamu boleh menelanjangi tubuhku, tapi jangan sekali-kali menelanjangi  jiwaku".  

Bagi orang Batak tanah adalah pakaian jiwa (roh).  Tanah disebut sebagai ulos na so ra buruk, kain yang tak kunjung usang. Mencabut tanah dari orang Batak berarti mencabut pakaian jiwa, harga diri dan kehormatannya.

Saya tak yakin BPODT ataupun pemerintah bisa "mendengar" teriakan itu dengan "telinga berbudaya".  Pihak Pemda Tobasa malahan cuma bilang sudah diberikan ganti untung atas tegakan tanaman di atas kawasan The Kaldera. Sungguh respon yang tidak cerdas atau mungkin masa bodoh.

Dalam artikel Kamis 12 September itu sudah saya simpulkan bahwa warga Bius Raja Paropat Sigapiton mendukung pembangunan destinasi wisata The Kaldera.  Tapi mereka minta hak mereka atas tanah adat diakui dan sumber air mereka dilindungi kelestariannya. 

Karena itu saya sarankan solusinya adalah memberi pengakuan itu lalu, sebagai implikasinya, membangun agrowisata yang melibatkan warga Sigapiton sebagai pelaku di The Kaldera. Lalu menjadikan sumber air sebagai enklaf hutan. Agar ketersediaan air irigasi terjamin demi kelestarian inti budaya sawah Sigapiton.

Harapan pada Jokowi

Pada akhirnya, saya ingin menyampaikan suatu harapan pada Pak Jokowi.  Selaku Presiden RI beliau sangat getol mempromosikan dan membangun pariwisata Danau Toba. Namun ada sejumlah masalah yang ditutupi dari penglihatannya. Salah satunya masalah tanah adat di The Kaldera Toba.

Karena kaum ibu sudah telanjang menantang keangkuhan BPODT dan aparat, dan suara mereka tak diperdulikan, maka saya sungguh berharap Pak Presiden sendiri yang sudi mendengar "bahasa tubuh telanjang" dari ibu-ibu Bius Raja Paropat Sigapiton itu. Saya sungguh tak bisa berharap pada Pemda dan BPODT yang sudah "tuli budaya". 

Juga tidak  berharap pada Pak Luhut Panjaitan, Ketua Pengarah BPODT.  Karena sebelum ibu-ibu itu melakukan aksi telanjang, dia sudah bertemu warga Sigapiton dan berjanji semuanya akan dijalankan dengan baik. Tapi apa yang terjadi kini?

Pak Jokowi, jika para ibu sudah maju telanjang ke garis depan perjuangan, berarti keadaan sudah genting. Setahu saya hanya ada satu cara mengatasinya: dengarkan mereka dan padu-serasikan kepentingan mereka di The Kaldera.

Itu sekadar pengharapan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, ingin mendengar warga Sigapiton tertawa bahagia dari The Kaldera Toba, "rumah dan sumber nafkah" mereka.(*)

Catatan: Video aksi telanjang kaum ibu Sigapiton itu ada di Youtube tetapi sebaiknya tidak usah ditonton.
 

 
 
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun