Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ayo Kembali ke Papan Tulis!

2 Mei 2018   10:39 Diperbarui: 2 Mei 2018   21:22 3226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atau, di lain waktu, saat Si Poltak ngantuk, maka sepotong kapur tulis melayang dari tangan Pak Guru dan mendarat tepat di jidatnya, membuat Si Poltak segar kembali, siap belajar.

Saya ingat betul, kerap ada guru yang terlalu syuur mengajar, tak sadar mengusap keringat di dahi atau pipi dengan tangan berkapur, sehingga wajahnya cemong putih selayaknya badut. Itu lucu dan waktunya para murid untuk tertawa. 

Jadi, sepanjang pengalaman saya, papan tulis hitam dengan kapur tulisnya memang bukan media ajar biasa, karena dia berfungsi juga sebagai media pengakraban guru dan murid.

Tapi yang paling mengagumkan dari papan tulis adalah kemampuannya membangun pemahaman murid tentang satu topik bahasan. 

Sebagai contoh saja, saya ingat betul waktu guru Fisika mengajak kami murid SMA untuk memecahkan satu soal. Mulai dari analisa apa yang diketahui dan apa yang ditanya, lalu rumus apa yang tepat digunakan, dan seterusnya. Termasuk pula memasukkan angka-angka yang diketahui ke dalam rumus, hingga perhitungan detil sampai menemukan hasil akhir. Maka terjadi (proses) dan terdokumentasi (hasil) secara lengkap di papan tulis. 

Tidak ada proses belajar yang lebih hebat dari itu, sepanjang pengalaman saya. Itu proses belajar yang sangat dinamis, dua arah, ada komunikatif dalam pengertian Habermasian, yaitu proses pembentukan kesepahaman bersama. Kadang guru yang menulis di papan, kadang murid yang tampil di depan mengerjakan soal di papan. Kesalahan langsung diperbaiki di papan, kebenaran langsung diganjar pujian. Sangat akrab.

Sekarang mari melompat ke dalam kelas modern masa kini, kelas dengan teknologi ajar digital. Setiap kelas dilengkapi dengan LCD Projector canggih untuk menayangkan bahan ajar dalam bentuk Power Point atau video. Pertanyaannya, adakah keakraban guru dan murid yang difasilitasi oleh LCD Projector dengan Power Point dan atau video?

Saya tidak punya informasi untuk menyimpulkan bahwa Power Point dan video yang ditayangkan melalui LCD Projector itu bias mengakrabkan guru dan murid. Itu adalah proses searah, instruktif, atau instrumental menurut Habermasian. Dingin tanpa komunikasi.

Memang guru ngomong berapi-api di depan kelas, tapi tak ada murid yang memperhatikannya. Murid sibuk melihat tayangan di layar dan mencatat secepat mungkin, sebelum guru mengganti slide Power Point. Begitulah proses belajar berbasis digital. 

Dengan cara belajar seperti itu, saya tak yakin para murid akan mendapat pengetahuan dan pemahaman penuh atas suatu pokok bahasan. Sebab tak ada komunikasi. Jadi bagaimana mungkin ada pemahaman? 

Sekarang menjadi jelas mengapa orang tua murid harus rela mengeluarkan uang jutaan rupiah lagi untuk bayaran les atau bimbingan belajar (bimbel) bagi anaknya? Lha, kalau masih perlu bimbel, lalu untuk apa ada sekolah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun