Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Riuh yang Diam, Suatu Sore di Pantai Pasir Putih Tonrangeng Parepare

26 Maret 2018   11:21 Diperbarui: 26 Maret 2018   11:31 1748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Youtube.com/Iwan Asaad

Belum lagi tubuh ini rebahan sejenak di pembaringan hotel di Parepare guna menawar penat selepas perjalanan panjang dari Toraja, anak bungsu kami sudah mengajak jalan-jalan sore ke pantai.

Harus diakui, sore itu 27 Desember 2017, udara Parepare, "Kotanya Habibie", memang cerah. Saat yang bagus, memang, untuk menikmati matahari terbenam di bibir pantai.

Ya, tapi ke pantai mana. Tanya ke Prof. Google, diberi alternatif Pantai Pasir Putih Tonrangeng dan Pantai Lumpue. Ya, sudah, tergoda dengan janji "pasir putih", pilih ke Tonrangeng saja.

Kata googlemap, perjalanan naik mobil  dari penginapan, dekat pelabuhan, ke Pantai Pasir Putih Tonrangeng hanya 8 menit. Jalanan berwarna hijau, tanda lancar jaya.

Jadilah kami, saya bersama isteri dan kedua anak kami, ditemani Pak Sahar yang ahli nyopir, sore itu berangkat ke tempat tujuan. Benar, jalanan lancar. Kecuali  bahwa googlemap tidak tahu menjelang tepi pantai ada ruas jalan ditutup untuk upacara kematian, sehingga harus tanya orang agar ketemu jalan alternatif.

Tak sulit ternyata menemukan Pantai Pasir Putih Tonrangeng. Beberapa saat kemudian, beberapa orang tukang parkir partikelir telah memandu mobil kami ke kavling parkiran mereka. Oke, manut saja, namanya juga orang cari rejeki halal.

Berjalan ke bibir pantai, mata saya langsung mencari hamparan pasir putih yang dijanjikan. Nah, benar, itu dia, memang pasir putih, tapi tak seluas yang saya bayangkan. Sebab rujukan saya adalah pantai-pantai yang jembar seperti Parangtritis Bantul, Baron Gunungkidul, Gua Cina Malang, Pameungpeuk Garut, dan Air Manis  Padang.

Ya, sudahlah, tak soal. Yang penting Pasir Putih Tonrangeng ini sudah memenuhi definisi sebuah pantai. Ada hamparan pasir melandai di tepi pantai, ada nyiur melambai ke laut, ada laut biru menghampar ke batas cakrawala, ada gelombang menghempas ke bibir pantai, ada perahu layar terombang-ambing di tengah laut, ada anak-anak yang berlompatan geli dijilat lidah ombak, dan ada mentari hampir terbenam di ufuk barat sana.

Nah, sejatinya untuk yang terakhir inilah kami datang ke Pasir Putih Tonrangeng. Menyaksikan saat-saat indahnya mentari terbenam seolah tertelan laut di ufuk barat Parepare.

Indah? Ada sebersit rasa gumun sebenarnya.  Dulu, di paruh kedua  1970-an, saya terbiasa berdiri di bibir Pantai Parparean Porsea, sambil memandangi matahari beranjak perlahan ke peraduannya di sisi barat Danau Toba. Aneh, dulu saya tak melihat peristiwa itu  sebagai sesuatu yang  indah.

Lantas, mengapa kini di penghujung 2017 atau sekitar 40 tahun kemudian, di ceruk barat kaki Sulawesi, saya menemukan diri duduk manis menunggu mentari terbenam sebagai sesuatu yang indah? Saya curiga, gambar mentari terbenam di kalender-kalender dan "sunset scene" di pilem-pilem drama romantislah yang telah mengubah pandangan saya tentang  mentari terbenam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun