"Pariban" siapakah dia? (kusumointen.com)
Ada kisah nyata begini. Poltak, setelah sepuluh tahun merantau hingga menikah di Jawa, suatu hari pulang kampung bersama isterinya. “Bah, Poltak, sudah pulang kau rupanya,” tegur salah seorang warga senior dari kampung tetangga ketika dia minum kopi di kedai. “Ai boru aha do pardijabu i?” (Boru apa isterimu?) Selidiknya lebih lanjut. “Boru Jawa, ompung,” jawab Poltak. “Bah, Poltak. So na hurang di son boru hita. Boasa ma gabe marboru sileban ho?” (Bah, Poltak. Banyak di sini gadis sesuku. Kenapa pula kau menikahi gadis suku lain?)
“Marboru Jawa”, untuk waktu yang lama, memang cenderung dirasa “kurang sreg” oleh orang Batak (Toba), khususnya generasi tua yang tinggal di kampung halaman.
Semata karena alasan adat sebenarnya. Boru Jawa berarti boru dari luar adat Batak, dengan kata lain “orang tak beradat (Batak)”. Boru Jawa tak bermarga, sehingga tak punya tempat saat dibawa ke dalam struktur “Dalihan na Tolu” yang bersifat“tertutup” dalam komunitas Batak.
Dalam struktur “Dalihan na Tolu” keluarga pihak isteri ditempatkan pada marga “hula-hula” (pemberi isteri). Tapi orang Jawa kan tak punya marga, lalu bagaimana menempatkannya? Bingung jadinya.
Tapi rasa “kurang sreg” semacam itu sebenarnya lebih sebagai manifestasi “keengganan” berkomunikasi antar-budaya. Lazimnya warga sebuah etnis, tak hanya Batak, lebih sreg komunikasi intra-budaya. Sudah saling paham nilai dan norma, jadi nyambung komunikasinya. Kalau beda budaya, nanti bisa kerap kejadian “Jaka Sembung bawa golok, udah gak nyambung lalu diolok.”
Rasa “kurang sreg” itu juga tak hanya tertuju pada boru Jawa, tapi pada semua boru tanpa marga yang secara kategoris disebut “boru sileban” (perempuan non-Batak). Termasuk perempuan dari kalangan etnik lain yang bermarga.
Beruntung proses “hamajuon” (kemajuan) kemudian lebih membuka wawasan nasionalisme di kalangan orang Batak. Orang Batak pada akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa perkawinan antar-suku adalah keniscayaan nasional.
Budaya lokal harus menyesuiakan diri dengan tuntutan konteks nasional, bhinneka tunggal ika. Sebagai solusi untuk masalah boru Jawa “tak beradat”, dilahirkanlah inovasi sosial berupa pranata adat “mamampe marga”, memberi marga sesuai marga “hula-hula” untuk kemudian dilanjutkan dengan “mangadathon” (meng-adat-kan). Maka resmilah boru Jawa itu menjadi “pariban” (putri paman) bagi suaminya, atau “boru ni raja hula-hula” (putri raja pemberi isteri) bagi keluarga atau kerabat suaminya. Selesai urusan alih-status dari “tak beradat” jadi “beradat”. Gampang, kan?
Maka “marboru Jawa” sekarang menjadi gejala lumrah di kalangan orang Batak. Orang Batak di rantau Jawa kini banyak yang beristri boru Jawa. Malahan kerap terlontar pertanyaan anekdotal, “Lama merantau di Jawa kok ga dapat istri boru Jawa? Tak laku kau ya?”
Ada teladan positif juga dari tokoh-tokoh Batak yang sukses di Jakarta. Cukup banyak di antara mereka yang menikah dengan orang Batak. Mulai dari pengusaha, pejabat negara, politisi, sampai menteri.