Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang Batak dan Boru Jawa

30 November 2016   17:50 Diperbarui: 30 November 2016   20:15 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "Pariban" siapakah dia? (kusumointen.com)

Ada kisah nyata begini. Poltak, setelah sepuluh tahun merantau hingga menikah di Jawa, suatu hari pulang kampung bersama  isterinya.  “Bah, Poltak, sudah pulang kau rupanya,” tegur salah seorang warga senior dari kampung tetangga ketika dia minum kopi di kedai. “Ai boru aha do pardijabu i?” (Boru apa isterimu?) Selidiknya lebih lanjut. “Boru Jawa, ompung,” jawab Poltak. “Bah, Poltak. So na hurang di son boru hita. Boasa ma gabe marboru sileban ho?” (Bah, Poltak. Banyak di sini gadis sesuku. Kenapa pula kau menikahi gadis suku lain?) 

 “Marboru Jawa”,  untuk waktu yang lama, memang cenderung dirasa “kurang sreg”  oleh   orang Batak (Toba), khususnya generasi tua yang tinggal di kampung halaman. 

Semata karena alasan adat sebenarnya.  Boru Jawa berarti boru dari luar adat Batak, dengan kata lain “orang tak beradat (Batak)”. Boru Jawa tak bermarga, sehingga tak punya tempat saat dibawa ke dalam struktur “Dalihan na Tolu” yang bersifat“tertutup” dalam komunitas Batak.  

Dalam struktur “Dalihan na Tolu”  keluarga pihak isteri ditempatkan pada marga “hula-hula” (pemberi isteri). Tapi orang Jawa kan tak punya marga, lalu bagaimana menempatkannya? Bingung jadinya.

Tapi rasa “kurang sreg”  semacam itu sebenarnya lebih sebagai manifestasi “keengganan” berkomunikasi antar-budaya. Lazimnya warga sebuah etnis, tak hanya Batak, lebih sreg komunikasi intra-budaya. Sudah saling paham nilai dan norma, jadi nyambung komunikasinya. Kalau beda budaya, nanti bisa kerap kejadian “Jaka Sembung bawa golok, udah gak nyambung lalu diolok.”

Rasa “kurang sreg” itu juga tak hanya tertuju pada boru Jawa, tapi pada semua boru tanpa marga yang secara kategoris  disebut “boru sileban” (perempuan non-Batak). Termasuk perempuan dari kalangan etnik lain yang bermarga.

Beruntung  proses “hamajuon” (kemajuan) kemudian lebih membuka wawasan nasionalisme di kalangan orang Batak. Orang Batak pada akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa perkawinan antar-suku adalah keniscayaan nasional. 

Budaya lokal harus menyesuiakan diri dengan tuntutan konteks nasional, bhinneka tunggal ika. Sebagai solusi untuk masalah boru Jawa “tak beradat”, dilahirkanlah inovasi sosial berupa pranata adat “mamampe marga”, memberi marga sesuai marga “hula-hula” untuk kemudian dilanjutkan dengan “mangadathon” (meng-adat-kan). Maka resmilah boru Jawa itu menjadi “pariban” (putri paman) bagi suaminya, atau “boru ni raja hula-hula” (putri raja pemberi isteri) bagi keluarga atau kerabat suaminya. Selesai urusan alih-status dari “tak beradat” jadi “beradat”. Gampang, kan?

Maka  “marboru Jawa” sekarang menjadi gejala lumrah di kalangan orang Batak. Orang Batak di rantau Jawa kini banyak yang beristri boru Jawa. Malahan kerap terlontar pertanyaan anekdotal, “Lama merantau di Jawa kok ga dapat istri boru Jawa? Tak laku kau ya?”

Ada teladan positif juga dari tokoh-tokoh Batak yang sukses di Jakarta. Cukup banyak di antara mereka yang  menikah dengan orang Batak. Mulai dari pengusaha, pejabat negara, politisi, sampai menteri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun