Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Orang Batak dan Ikan Batak

14 November 2016   08:12 Diperbarui: 14 November 2016   09:57 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikan Batak asli, Neolissochilus thienemanni (fishbase.org)

 Apakah ikan punya etnis sehingga ada “ikan Batak”?  Tentu saja tidak. Itu adalah jenis ikan “spesial” Tanah Batak. Spesial dalam arti endemik Tanah Batak dan punya fungsi khusus dalam kehidupan sosial orang Batak (Toba).  

Nanti akan saya ceritakan lebih lanjut soal keistimewaan ikan Batak itu. Sekarang kita berkenalan dengan “ikan Batak”-nya dulu.

“Ikan Batak”  adalah jenis ikan endemik Danau Toba dan sungai-sungai yang bermuara ke sana. Nama Latinnya Neolissochilus thienemanni (Ahl., 1933) dari family Cyprinidae. Masih satu keluarga dengan ikan semah (Tor spp.) yang secara  lokal disebut “dengke” (ikan) jurung-jurung (Batak) atau kancra (Sunda) atau tambra (Jawa). Juga sekeluarga dengan ikan mas (Cyprinus carpio).

“Ikan Batak” asli, yaitu Neolissochilus thienemanni, kini sudah tergolong  langka. World Conservation Monitoring Centre tahun 1996 melaporkan keberadaan  jenis ikan ini berstatus rawan punah (vulnerable), tiga tingkatan di bawah punah dari bumi (EW, Extinc in the World) (Lihat:  Red List Status of Threatened Species, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 1996). 

Sedikitnya ada dua penyebab utama kelangkaan ikan Batak itu. Pertama, penangkapan berlebih (over-fishing), terkait nilai tinggi ikan ini dalam kehidupan sosial (adat) masyarakat Batak. Nilai komersilnya tak masuk akal, bisa mencapai  Rp 300,000 per ekor. Sementara pembudidayaannya   belum dapat dilakukan, karena sulitnya meniru habitat asli ikan ini yaitu air sungai jernih (bersih) yang mengalir deras dari pegunungan atau di dasar danau pada suhu 20-25 derajad Celcius.

Kedua, kerusakan habitatnya akibat polusi sehingga perkembang-biakannya tersendat. Polusi  sungai dan danau habitatnya terjadi akibat pembuangan limbah dan penebangan hutan di daerah hulu. Ikan ini hanya bisa hidup dan berkembang biak di perairan yang jernih dan berarus deras.

Nilai penting ikan Batak dalam masyarakat Batak tercermin dari nama “ihan” yang disematkan padanya. “Ihan” adalah ikan Batak. Ikan lainnya disebut “dengke” (ikan), seperti “dengke” jurung-jurung,  (mu)jair, mas, pora-pora (bilis), sibahut (lele), dan haruting (gabus).

Ikan Batak bernilai tinggi karena memiliki fungsi sosial tinggi dalam masyarakat Batak. Secara sosiologis, jenis ikan ini dulu diposisikan   sebagai “makanan raja-raja”. Maksudnya “raja huta” dalam konteks struktur “huta” (kampung) dan “bius” (kelompok huta), atau “hula-hula” (bride giver) dalam konteks struktur kekerabatan Batak.

Dalam adat Batak, ikan ini  diposisikan sebagai sajian utama “upa-upa” (upacara doa mohon berkat). Upacara “upa-upa” dilakukan oleh “hula-hula” terhadap “boru”-nya (bride taker), sebagai doa kepada “Mulajadi Na Bolon” (Awalmula yang Besar), sebutan Batak untuk Tuhan (sekarang), agar “boru” dilimpahi berkah karunia dalam hidupnya. Tentu saja ikan yang disajikan sudah dimasak “arsik”, khas masakan Batak.

Upacara “upa-upa” itu lazim dilakukan dalam rangka adat perkawinan Batak. Saat “hula-hula” memberikan “ihan”, disertai doa mohon berkat, para anggota “boru” akan merubung “pinggan” (wadah ikan) sambil menyentuhnya agar terkena aliran berkat (lewat media “ihan”). Berkah yang diharap adalah “hamoraon, hagabeon, hasangapon” (kekayaan, keturunan, kemuliaan).

Tapi tidak hanya dalam upacara adat perkawinan, “upa-upa” juga lazim dilalukan “hula-hula” pada “boru”-nya  yang baru luput dari musibah, seperti bencana, kecelakaan, dan kejahatan. Tujuannya untuk mengembalikan roh (“paulak tondi”), atau memulihkan semangat hidup dari korban tersebut.

Hal serupa juga lazim dilakukan orang tua terhadap anaknya yang sakit. Tapi dalam skala kecil, cukup seekor dimasak “tombur”, menu ikan bakar khas Batak (bumbu andaliman, kemiri bakar, cabai, garam, bawang merah dan putih, kecombrang, jeruk nipis). Mungkin karena terdampak kenikmatan tiada tara, khususnya bumbu rempahnya, setelah makan sajian istimewa itu, anak yang sakit biasanya langsung sembuh. Waktu kecil dulu, saya  pernah beberapa kali mengalaminya, saat sakit demam.

Boleh disimpulkan, “ikan Batak” itu adalah “ikan adat”, dalam arti memiliki fungsi sebagai “syarat” dalam praktek kehidupan adat Batak. Itu sebabnya permintaan “ihan” sangat tinggi dan  harganya juga membubung tinggi. Hal ini merangsang warga memburu ikan ini dengan cara-cara anti-pelestarian, antara lain meracun (sungai) dan menyetrum. Dua cara ini membunuh juga anakan ikan Batak yang belum laik konsumsi.  “Ihan” laik konsumsi lazimnya minimal seukuran panjang telapak tangan orang dewasa.

Karena populasi “ihan” semakin langka, bahkan rawan punah (vulnerable), maka fungsinya kemudian digantikan dengan ikan jurung-jurung (Tor sp.). Belakangan populasi jurung-jurung juga menipis di Danau Toba dan sungai-sungainya. Sehingga fungsi “ikan adat” sekarang beralih ke ikan mas, khususnya yang berwarna merah.

Orang Batak kini kerap mengeluhkan kelangkaan “ihan”. Tapi meratapi kelangkaan ikan Batak sudah pasti tak akan memulihkan populasinya. Masyarakat-masyarakat hukum adat Batak, khususnya yang tinggal di sekitar Daerah Aliran Sungai dan pantai Danau Toba, perlu segera duduk untuk  merumuskan dan menjalankan solusi adat atas masalah itu. Tak perlu menunggu program pemerintah.

Dua langkah pelestarian dapat disarankan di sini untuk dipertimbangkan. Pertama, menetapkan “ihan” atau ikan Batak (Neolissochilus thienemanni) sebagai “Ikan Adat Batak” yang harus dikelola pelestariannya menurut hukum adat.  Kedua, menetapkan aturan-aturan adat setempat terkait pelestarian populasi ikan Batak, menyangkut antara lain cara-cara penangkapan (teknik, waktu, lokasi, dan ukuran laik tangkap),  pemeliharaan kebersihan perairan habitat “ihan”, dan sanksi-sanksi adat atas pelanggaran aturan-aturan itu.

Memang bukan langkah-langkah pelestarian yang mudah, tapi tak mustahil. Lagi pula orang Batak harus bersikap adil, dalam arti  pemanenan ikan Batak dari alam  harus diimbangi  dengan upaya-upaya menjaga kelestariannya. Tambahan, kalau berhasil, upaya pelestarian itu akan tercatat sebagai sumbangan besar orang Batak kepada dunia.(*)

Rujukan:

Froese, R. and D. Pauly. Editors. 2016. Neolissochilus theinemanni. FishBase. World Wide Web electronic publication.www.fishbase.org (06/2016)

World Conservation Monitoring Centre. 1996. Neolissochilus theinemanni. The IUCN Red List of Threatened Species 1996: e.T14530A4442867. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun