Mohon tunggu...
Healthy Pilihan

Berdampak pada Munculnya Bakteri Resisten Antibiotik, Antibiotik Aman dan Efektifkah?

6 September 2017   10:10 Diperbarui: 6 September 2017   10:19 3494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk melawan bakteri sebagai penyebab infeksi, bukan untuk melawan virus.1 Cara kerja dari antibiotik itu sendiri secara umum dapat berupa membunuh ataupun menyulitkan bakteri penyebab infeksi tersebut untuk hidup di dalam tubuh.1Perbedaan kandungan zat yang terdapat pada antibiotik menyebabkan adanya perbedaan kekuatan dan cara kerja dari obat tersebut sehingga antibiotik memiliki kemampuan membunuh pada bakteri tertentu.2

Penyalahgunaan antibiotik dapat menyebabkan resistensi antibiotik, yang merupakan munculnya kemampuan bakteri untuk bertahan dari efek suatu antibiotik sehingga bakteri tersebut dapat dikatakan kebal/ resisten terhadap antibiotik.1 Penyalahgunaan antibiotik dapat berupa penggunaan yang berlebihan, penggunaan dengan dosis yang tidak tepat, serta macam dan lama pemberian yang tidak sesuai.3 Adanya Resistensi antibiotik ini akan berdampak pada tidak efektifnya antibiotik terhadap penyembuhan penyakit infeksi yang diidap pasien.4

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), hampir separuh penggunaan antibiotik di dunia tidak tepat.5 Berdasarkan data terakhir dari World Health Organization (WHO) mengenai resistensi antibiotik di dunia, asia tenggara memiliki angka tertinggi pada kasus resistensi antibiotik, khususnya pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus terhadap antibiotik methicillin6, padahal bakteri tersebut merupakan spesies bakteri yang paling sering menyebabkan penyakit infeksi, terutama pada kalangan genus/marga bakteri Staphylococcus.7

Bagaimana dengan resistensi antibiotik di negara Indonesia? Di Indonesia sendiri, sudah banyak temuan dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa resistensi obat sudah banyak terjadi. Pada yang dilakukan oleh antimicrobial resistance in Indonesia (AMRIN), sebesar 46-54% penggunaan antibiotik pada anak dinyatakan tidak tepat dan tidak sesuai indikasi.8 Pada penelitian lain yang lebih spesifik yang dilakukan oleh AMRIN, didapatkan bahwa 43% bakteri Eschericia coli di Indonesia sudah mengalami berbagai resistensi terhadap berbagai jenis antibiotik, antara lain ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).9,10 Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan penggunaan antibiotik di Indonesia sudah cukup memprihatinkan dan perlu segera diselesasaikan.4,6

Lalu, bagaimana kebijakan dari pemerintah terhadap masalah ini? Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah sendiri telah membuat kebijakan sebagai langkah pertama yang telah dibuat, yakni Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit.9,11

Di dalam kebijakan tersebut, dijelaskan terdapat dua strategi mengendalikan jumlah resistensi antibiotik/ antimikroba ini, yaitu dengan menggunakan antibiotik secara bijak/ rasional agar mencegah terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik dan meningkatkan ketaatan akan prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi agar bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotik tidak mengalami penyebaran dan menginfeksi ke orang lain.9,11 Selain kebijakan tersebut, Kementrian Kesehatan juga telah membentuk Komite Pengendalian Resistensi Antibiotik (KPRA) guna mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas di masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).11

Akan tetapi, apakah adanya berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan adanya KPRA sudah cukup untuk mengatasi masalah penyalahgunaan antibiotik dan resistensi antibiotik? Tentu saja tidak. Pada suatu studi yang dilakukan di Bengkulu pada tahun 2016, penggunaan antibiotik tanpa indikasi masih terjadi sebesar 27,4% kasus, digunakan secara tepat sebesar 32%, dan pemilihan antibiotik yang tidak tepat sebesar 17,7%.8 Penggunaan antibiotik tanpa indikasi juga banyak ditemukan pada penelitian yang dilakukan di dua pelayanan kesehatan di Bandung dan di Cimahi pada tahun 2014 hingga 2015.12 Hal ini membuktikan bahwa peranan pemerintah berupa pembuatan KPRA dan penetapan kebijakan saja masih kurang mencegah terjadinya resistensi antibiotik oleh bakteri.

Lantas, mengapa hal tersebut bisa terjadi di Indonesia?

"Sudah demam dan flu dua hari, sekarang batuk lagi, kayaknya ketularan infeksi nih, beli antibiotik saja deh biar gak pusing, paling di warung obat ada"

"Kalau sakit demam dan batuk, ke dokter saja dan minta untuk diresepin antibiotik biar bisa sembuh"

"Wow, mujarab juga nih antibiotik, baru diminum dua hari udah baikan, padahal dikasih obatnya untuk tiga hari, sisanya saya simpan saja deh biar kalo sakit-sakit lagi, bisa langsung diminum"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun